Analisis Hukum Terkait UU No. 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah
Konteks Historis
-
Revisi dari UU Sebelumnya
UU ini menggantikan UU No. 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, yang dinilai tidak lagi memadai untuk mengatasi kompleksitas penyelenggaraan haji dan umrah. Permasalahan seperti antrean panjang jemaah (hingga 10-20 tahun), ketidakjelasan biaya, dan maraknya praktik penipuan oleh pihak travel umrah ilegal mendorong pembaruan hukum ini. -
Dorongan Reformasi Birokrasi
UU No. 8/2019 lahir sebagai bagian dari upaya reformasi birokrasi Kementerian Agama, khususnya Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (Ditjen PHU), untuk meningkatkan transparansi, akuntabilitas, dan kualitas layanan. Misalnya, pengelolaan dana haji yang sebelumnya kerap dipersoalkan DPR/BPK kini diatur lebih ketat melalui mekanisme Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH). -
Tekanan Politik dan Publik
Tingginya angka kecurangan oleh travel umrah (sekitar 1.200 laporan per tahun sebelum 2019) serta protes masyarakat atas mahalnya biaya haji menjadi faktor politis yang mempercepat pengesahan UU ini.
Inovasi Utama dalam UU No. 8/2019
-
Pemisahan Regulasi Haji dan Umrah
UU ini mempertegas pemisahan skema haji (yang diatur ketat oleh negara) dan umrah (yang melibatkan swasta). Hal ini untuk mencegah penyalahgunaan kuota haji untuk kepentingan komersial umrah. -
Penguatan Perlindungan Jemaah
- BPIH Transparan: Biaya haji dihitung berdasarkan prinsip breakeven dan dikelola melalui rekening khusus di Bank Syariah Indonesia (BSI), menghindari praktik markup.
- Sanksi Pidana: Travel umrah yang melanggar (misal: tidak memberangkatkan jemaah) bisa dipidana hingga 5 tahun penjara (Pasal 74).
- Sistem Kuota Elektronik: Menggantikan sistem manual yang rentan manipulasi.
-
Peran Aktif Masyarakat
Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH) dan lembaga pendidikan keagamaan diakui sebagai mitra pemerintah dalam pembinaan jemaah, tetapi wajib terdaftar dan diawasi ketat (Pasal 19-21).
Tantangan Implementasi
-
Pandemi COVID-19
UU ini diuji saat Arab Saudi memberlakukan pembatasan haji (2020-2021). Pemerintah Indonesia harus mengatur refund biaya haji dan penundaan kuota, yang memicu sengketa dengan jemaah. -
Konflik Kepentingan dengan Swasta
Aturan ketat untuk travel umrah (seperti wajib memiliki izin Kemenag dan dana garansi Rp5 miliar) menuai protes dari Asosiasi Penyelenggara Umrah dan Haji Khusus (APSUH), yang mengklaim regulasi ini mematikan usaha kecil. -
Isu Diskriminasi
Pasal 12 ayat (3) yang mewajibkan jemaah haji "mampu secara fisik, mental, dan keilmuan" menuai kritik karena dianggap membatasi hak penyandang disabilitas.
Dasar Konstitusional
- Pasal 29 UUD 1945: Negara menjamin kemerdekaan beribadah.
- Putusan MK No. 55/PUU-VIII/2010: Menegaskan bahwa penyelenggaraan haji adalah kewajiban negara, bukan sekadar layanan administratif.
Signifikansi Strategis
UU No. 8/2019 mencerminkan upaya Indonesia untuk menyeimbangkan prinsip:
- Kedaulatan Agama: Memastikan ibadah haji/umrah sesuai syariat.
- Kedaulatan Hukum: Memberikan kepastian hukum bagi 2,3 juta jemaah antrean haji (data 2023) dan 1,5 juta jemaah umrah per tahun.
- Kedaulatan Ekonomi: Pengelolaan dana haji mencapai Rp160 triliun (2023) yang diinvestasikan untuk kepentingan jemaah.
Catatan Kritis: Meski progresif, UU ini masih perlu diikuti Peraturan Pemerintah/Permenag teknis untuk memastikan implementasi yang konsisten, terutama terkait pengawasan travel umrah dan transparansi BPIH.