Undang-undang (UU) Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan

Status: Berlaku

Konteks dari Meridian

Generated by Meridian AI

Analisis UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan

Konteks Historis

  1. Latar Belakang Pembentukan:

    • UU ini lahir sebagai respons atas maraknya pembalakan liar (illegal logging) dan alih fungsi hutan untuk perkebunan/pertambangan ilegal yang masif pada era 2000-an, menyebabkan kerugian ekonomi, kerusakan ekologis, serta tekanan internasional terkait deforestasi dan emisi karbon.
    • Kegagalan UU No. 41/1999 tentang Kehutanan (yang direvisi UU No. 19/2004) dalam menangani kejahatan terorganisasi, karena fokus pada pelaku individu dan sanksi yang tidak efektif.
  2. Isu Global:

    • Indonesia menjadi sorotan dunia akibat kebakaran hutan dan kabut asap (misal: krisis asap 2013) yang berdampak transnasional. UU ini memperkuat komitmen Indonesia dalam perjanjian internasional, seperti REDD+ dan FLEGT-VPA dengan Uni Eropa, untuk memerangi perdagangan kayu ilegal.

Inovasi Hukum

  1. Pergeseran Paradigma:

    • Fokus pada kejahatan terorganisasi (melibatkan korporasi, sindikat, atau pejabat), bukan hanya pelaku individu. Contoh: penggunaan modus operasi kompleks seperti dokumen palsu, suap, dan pencucian uang.
    • Sanksi Pidana Berat: Hukuman maksimal 15 tahun penjara dan denda hingga Rp10 miliar, serta sanksi tambahan seperti pencabutan izin usaha.
  2. Lembaga Khusus:

    • Pembentukan Satuan Tugas Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (Satgas P3H) di bawah Presiden (diatur Perpres No. 88/2017). Satgas ini mengintegrasikan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kepolisian, Kejaksaan, dan TNI, untuk mengatasi tumpang tindih kewenangan.
  3. Perlindungan Masyarakat Adat:

    • Pengecualian bagi perladangan tradisional yang dilakukan masyarakat adat secara turun-temurun dengan pola rotasi. Hal ini sejalan dengan Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 yang mengakui hutan adat.

Tantangan Implementasi

  1. Kompleksitas Kejahatan:

    • Pelaku sering melibatkan aktor berpengaruh (oknum pejabat, TNI/Polri, pengusaha) yang menghambat proses hukum. Contoh: Kasus PT Kalista Alam di Aceh (2015) yang membakar hutan gambut.
    • Keterbatasan SDM dan Teknologi: Pengawasan di wilayah hutan yang luas (misal: Papua, Kalimantan) memerlukan sistem pemantauan real-time seperti SIPONGI (Sistem Informasi Pengendalian Kebakaran Hutan).
  2. Konflik Agraria:

    • Tumpang tindih izin (HPH, HTI, pertambangan) dengan klaim masyarakat adat sering memicu sengketa. UU ini belum sepenuhnya menyelesaikan masalah ini, sehingga memerlukan sinergi dengan UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja.

Peran Masyarakat dan Internasional

  • Pelaporan Partisipatif: Masyarakat dapat melapor melalui E-Pelaporan KLHK atau aplikasi SIPUHLING, dilindungi sebagai saksi/informan (mirip UU Whistleblower).
  • Kerja Sama Lintas Negara: Interpol dan ASEAN-WEN dilibatkan untuk penelusuran aset pelaku di luar negeri.

Relevansi dengan Isu Kontemporer

  • UU ini menjadi instrumen kunci dalam mencapai NDC (Nationally Determined Contribution) Indonesia untuk mengurangi emisi 41% pada 2030, dengan mengendalikan deforestasi.

Catatan Kritis:
Meski progresif, efektivitas UU ini bergantung pada konsistensi penegakan hukum, pemberantasan korupsi, dan koordinasi antarlembaga. Kasus seperti kebakaran hutan 2019 menunjukkan bahwa kejahatan terorganisasi masih sulit diatasi tanpa dukungan politik kuat dan transparansi data.

Meridian AI bisa salah. Cek konten penting.

Materi Pokok Peraturan

Ruang lingkup undang-undang ini meliputi (i) pencegahan perusakan hutan; (ii) pemberantasan perusakan hutan; (iii) kelembagaan; (iv) peran serta masyarakat; (v) kerja sama internasional; (vi) pelindungan saksi, pelapor, dan informan; (vii) pembiayaan; dan (viii) sanksi. Cakupan perusakan hutan yang diatur dalam undang-undang ini meliputi proses, cara, atau perbuatan merusak hutan melalui kegiatan pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah. Adapun pembalakan liar didefinisikan sebagai semua kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu secara tidak sah yang terorganisasi, sedangkan penggunaan kawasan hutan secara tidak sah meliputi kegiatan terorganisasi yang dilakukan di dalam kawasan hutan untuk perkebunan dan/atau pertambangan tanpa izin Menteri. Undang-undang ini dititikberatkan pada pemberantasan perusakan hutan yang dilakukan secara terorganisasi, yaitu kegiatan yang dilakukan oleh suatu kelompok yang terstruktur, terdiri atas 2 (dua) orang atau lebih, dan yang bertindak secara bersama-sama pada suatu waktu tertentu dengan tujuan melakukan perusakan hutan, tetapi tidak termasuk kelompok masyarakat yang melakukan perladangan tradisional. Pengecualian terhadap kegiatan perladangan tradisional diberikan kepada masyarakat yang telah hidup secara turun-temurun di dalam wilayah hutan tersebut dan telah melakukan kegiatan perladangan dengan mengikuti tradisi rotasi yang telah ditetapkan oleh kelompoknya. Upaya pencegahan perusakan hutan dilakukan melalui pembuatan kebijakan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah serta dengan peningkatan peran serta masyarakat. Dalam rangka pemberantasan perusakan hutan, Undang-Undang ini mengatur kategori dari perbuatan perusakan hutan terorganisasi, baik perbuatan langsung, tidak langsung, maupun perbuatan terkait lainnya. Guna meningkatkan efektivitas pemberantasan perusakan hutan, Undang-Undang ini dilengkapi dengan hukum acara yang meliputi penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Undang-undang ini mengamanatkan pembentukan suatu lembaga yang melaksanakan pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan terorganisasi yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden yang terdiri atas unsur kehutanan, kepolisian, kejaksaan, dan unsur terkait lainnya, seperti unsur kementerian terkait, ahli/pakar, dan wakil masyarakat. Selain memiliki fungsi penegakan hukum, lembaga ini juga memiliki fungsi koordinasi dan supervisi. Sejak terbentuknya lembaga pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan, penanganan semua tindak pidana perusakan hutan yang terorganisasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini menjadi kewenangan lembaga pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan.

Metadata

TentangPencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan
Tipe DokumenPeraturan Perundang-undangan
Nomor18
BentukUndang-undang (UU)
Bentuk SingkatUU
Tahun2013
Tempat PenetapanJakarta
Tanggal Penetapan6 Agustus 2013
Tanggal Pengundangan6 Agustus 2013
Tanggal Berlaku6 Agustus 2013
SumberLN.2013/No. 130, TLN No. 5432, LL SETNEG: 68 HLM
SubjekKEHUTANAN DAN PERKEBUNAN
BahasaBahasa Indonesia
LokasiPemerintah Pusat

Status Peraturan

Diubah Dengan

  1. UU No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022
  2. PERPU No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja
  3. UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja

Network Peraturan

Loading network graph...

Dokumen