Berikut analisis mendalam mengenai Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (UU 18/2009) beserta konteks historis dan informasi tambahan kritis:
Konteks Historis
-
Penggantian Regulasi Kolonial
UU 18/2009 mencabut 11 peraturan warisan kolonial Belanda (Staatsblad 1912–1937) dan UU No. 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan. Regulasi kolonial dinilai sudah tidak relevan dengan prinsip kedaulatan negara, perkembangan ilmu kedokteran hewan modern, serta tuntutan keamanan pangan dan zoonosis di era global. -
Respons terhadap Otonomi Daerah dan Globalisasi
UU ini lahir sebagai respons atas desentralisasi pasca-Reformasi 1998 yang membutuhkan harmonisasi kebijakan pusat-daerah. Selain itu, tekanan global seperti standar Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) dan perdagangan internasional produk hewan (misalnya ekspor daging sapi) mendorong pembaruan sistem kesehatan hewan nasional.
Inovasi Kunci dalam UU 18/2009
-
Otoritas Veteriner (Pasal 67-69)
- Membentuk otoritas veteriner sebagai lembaga independen di bawah pemerintah pusat yang bertanggung jawab mengawasi zoonosis (penyakit hewan yang bisa menular ke manusia) dan keamanan pangan asal hewan.
- Otoritas ini menjadi dasar penanganan wabah seperti Avian Influenza (flu burung) dan Antraks, yang sebelumnya sering ditangani secara sektoral dan tidak terpadu.
-
Kesejahteraan Hewan (Animal Welfare)
- Pertama kali memperkenalkan prinsip kesejahteraan hewan (Pasal 66) dalam hukum Indonesia, termasuk larangan penyiksaan hewan dan kewajiban memenuhi kebutuhan fisik-psikologis hewan.
- Hal ini sejalan dengan tren global seperti Universal Declaration on Animal Welfare (UDAW).
-
Integrasi Halal dan Keamanan Pangan
- Pasal 22 dan 60 mewajibkan sertifikasi halal untuk produk hewan, yang menjadi landasan legal BPJPH (Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal).
-
Pemberdayaan Peternak Lokal
- Pasal 34-37 mengatur perlindungan terhadap peternak kecil melalui skema kemitraan, akses pembiayaan, dan teknologi untuk meningkatkan daya saing melawan industri besar.
Tantangan Implementasi
-
Tumpang Tindih Kewenangan
Otoritas veteriner di tingkat daerah sering berbenturan dengan Dinas Peternakan provinsi/kabupaten, terutama dalam penanganan wabah dan inspeksi daging. -
Regulasi Turunan yang Belum Komprehensif
Sebagian ketentuan (misalnya standar kesejahteraan hewan) masih diatur Peraturan Menteri, yang belum sepenuhnya mengakomodasi dinamika lapangan. -
Kasus Penting yang Melibatkan UU 18/2009
- Kasus Impor Daging Sapi ilegal (2013): Pelanggaran Pasal 59 tentang pemasukan produk hewan tanpa sertifikat kesehatan.
- Wabah PMK (2022): UU ini menjadi dasar karantina hewan dan vaksinasi massal untuk mencegah penyebaran penyakit mulut dan kuku.
Amandemen oleh UU No. 41 Tahun 2014
- UU 41/2014 mengubah beberapa pasal terkait lahan peternakan dan perizinan, memperkuat perlindungan terhadap lahan peternakan tradisional dari alih fungsi ke perkebunan.
Rekomendasi Strategis
-
Harmonisasi dengan UU Cipta Kerja
Perlu sinkronisasi dengan klaster ketenagakerjaan dan kemudahan berusaha, terutama untuk UMKM peternakan. -
Penguatan SDG Veteriner
Indonesia masih kekurangan 2.000+ dokter hewan untuk memenuhi rasio ideal 1:10.000 hewan (data PDHI, 2023).
UU 18/2009 merupakan terobosan hukum yang mengintegrasikan aspek ekonomi, kesehatan global, dan etika, tetapi memerlukan evaluasi berkala untuk menjawab kompleksitas sektor peternakan modern.