Analisis Mendalam Terhadap UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung
Berikut konteks historis dan informasi tambahan yang penting untuk dipahami mengenai UU ini:
1. Latar Belakang Pembentukan
- Era Reformasi dan Urbanisasi: UU ini lahir pada masa transisi pasca-Reformasi 1998, ketika Indonesia menghadapi pertumbuhan urbanisasi yang masif, khususnya di kota besar seperti Jakarta. Pembangunan gedung yang tidak terkendali tanpa standar jelas memicu risiko keselamatan, kerusakan lingkungan, dan ketidaktertiban tata kota.
- Krisis Regulasi Sebelumnya: Sebelum UU ini, pengaturan bangunan gedung tersebar dalam peraturan sektoral (seperti KUHP, Perda, atau SK Gubernur) yang tidak komprehensif, sehingga sering menimbulkan tumpang tindih wewenang dan inkonsistensi penegakan hukum.
2. Tujuan Utama
UU ini dirancang untuk:
- Menjamin keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan bagi pengguna bangunan serta masyarakat sekitar.
- Mengatur tata cara pembangunan, pemanfaatan, dan pemeliharaan gedung secara berkelanjutan, termasuk harmonisasi dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
- Mencegah praktik pembangunan liar dan pelanggaran izin mendirikan bangunan (IMB), yang kerap menjadi masalah di daerah padat penduduk seperti Jakarta.
3. Inovasi Hukum yang Diperkenalkan
- Kewajiban Sertifikasi Laik Fungsi (SLF): Setiap gedung wajib memiliki SLF sebagai bukti memenuhi syarat teknis dan administratif. Ini menjadi instrumen kritis untuk memastikan akuntabilitas pemilik/pengelola gedung.
- Penegakan Hierarki Perizinan: UU ini mempertegas peran pemerintah daerah dalam mengeluarkan IMB dan melakukan pengawasan, sekaligus mengatur sanksi administratif (seperti denda, pembongkaran) bagi pelanggar.
- Integrasi dengan Mitigasi Bencana: Standar teknis dalam UU ini memuat ketentuan khusus untuk wilayah rawan bencana (segempa, tsunami), yang relevan dengan kondisi geografis Indonesia.
4. Tantangan Implementasi
- Konflik Kepentingan di Daerah: Maraknya kasus "IMB ilegal" atau pelanggaran ketinggian bangunan di Jakarta menunjukkan lemahnya pengawasan dan potensi korupsi di tingkat birokrasi.
- Dinamika Perkembangan Teknologi: UU ini belum sepenuhnya mengakomodasi perkembangan konstruksi modern (seperti green building) dan kebutuhan digitalisasi perizinan.
5. Perkembangan Terkait
- UU ini menjadi dasar bagi PP No. 36 Tahun 2005 tentang Pelaksanaan UU No. 28/2002, yang merinci teknis perizinan, persyaratan bangunan, dan mekanisme pengawasan.
- Pada 2021, pemerintah mengeluarkan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang menyederhanakan perizinan berbasis risiko, termasuk IMB yang diintegrasikan ke dalam Persetujuan Bangunan Gedung (PBG).
6. Relevansi di Jakarta
Sebagai episentrum pembangunan, Jakarta kerap menjadi test case implementasi UU ini. Contohnya:
- Penertiban gedung tidak ber-IMB di kawasan permukiman padat.
- Penerapan sanksi tegas terhadap proyek yang melanggar ketentuan Garis Sempadan Bangunan (GSB) dan Koefisien Lantai Bangunan (KLB).
Kesimpulan: UU No. 28/2002 adalah instrumen krusial untuk menertibkan pembangunan gedung secara nasional. Namun, efektivitasnya sangat bergantung pada konsistensi penegakan hukum dan adaptasi terhadap dinamika pembangunan terkini.