Berikut analisis mendalam mengenai Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) beserta konteks historis dan informasi tambahan yang relevan:
Konteks Historis
-
Penggantian UU No. 23/1997
UU ini lahir sebagai respons atas dinamika global dan nasional, termasuk:- Desentralisasi pasca-Reformasi 1998: Otonomi daerah menuntut pembaruan regulasi lingkungan yang mengatur kewenangan pemerintah pusat dan daerah.
- Krisis Lingkungan Global: Tekanan isu pemanasan global, deforestasi, dan polusi transnasional (misalnya kabut asap lintas negara).
- Kritik terhadap UU No. 23/1997: Dianggap lemah dalam penegakan hukum, sanksi, dan partisipasi masyarakat.
-
Amanat Konstitusi
UU ini mengakomodasi Pasal 28H UUD 1945 (hak atas lingkungan sehat) dan Pasal 33 ayat (3)-(4) (prinsip keberlanjutan sumber daya alam).
Inovasi Hukum Penting
-
Asas Strict Liability (Pasal 88)
Pelaku usaha dapat dituntut bertanggung jawab tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan jika aktivitasnya menimbulkan kerusakan lingkungan. Ini terobosan besar dibanding UU sebelumnya. -
Korporasi sebagai Subjek Hukum Pidana (Pasal 116-120)
Korporasi bisa dipidana dengan denda hingga Rp 100 miliar dan pencabutan izin usaha. Ini memperkuat akuntabilitas bisnis. -
Kewajiban AMDAL yang Diperketat (Pasal 22-32)
Proses Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) wajib mencakup partisipasi masyarakat terdampak dan kajian risiko jangka panjang. -
Instrumen Ekonomi Lingkungan (Pasal 42-43)
Memperkenalkan mekanisme insentif-disinsentif seperti:- Dana Jaminan Pemulihan Lingkungan (wajib bagi industri berisiko tinggi).
- Pajak/kontribusi lingkungan untuk mendukung konservasi.
-
Pengadilan Lingkungan Khusus
UU ini menjadi dasar pembentukan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Khusus Lingkungan untuk percepatan penyelesaian sengketa.
Konteks Internasional
UU PPLH selaras dengan komitmen Indonesia dalam:
- Konferensi Stockholm 1972 (prinsip pembangunan berkelanjutan).
- Protokol Kyoto (pengendalian emisi karbon).
- SDGs 2030 (Tujuan 13-15 tentang iklim dan ekosistem).
Tantangan Implementasi
-
Fragmentasi Kebijakan Daerah
Masih terjadi tumpang-tindih perda lingkungan dengan UU ini, terutama di sektor pertambangan dan kehutanan. -
Kapasitas Penegakan Hukum
Kasus besar seperti kebakaran hutan lahan gambut (2015-2019) menunjukkan lemahnya koordinasi antara KLHK, kepolisian, dan kejaksaan. -
Konflik Kepentingan Ekonomi vs Lingkungan
Proyek strategis nasional (misalnya IKN Nusantara) kerap dianggap mengabaikan kajian AMDAL secara komprehensif.
Regulasi Turunan Kunci
- PP No. 22/2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (memperbarui mekanisme pengawasan).
- Permen LHK No. 1/2021 tentang Tata Cara Penyusunan AMDAL (memperkuat transparansi partisipasi publik).
- Peraturan Menteri ESDM No. 26/2018 (pengelolaan limbah B3 di sektor energi).
Kasus Penting yang Mengacu UU No. 32/2009
-
Kasus PT Freeport Indonesia (2017):
Perusahaan dijerat sanksi administratif karena pencemaran Sungai Aghawagon di Papua berdasarkan Pasal 100 UU ini. -
Sengketa PLTU Jawa 9 & 10 (2021):
Masyarakat menggugat pembatalan AMDAL proyek melalui PTUN Jakarta, merujuk pada Pasal 91 tentang hak gugat masyarakat.
Kritik Akademis
- Sanksi Pidana yang Tidak Progresif: Denda maksimal Rp 100 miliar dianggap tidak sebanding dengan keuntungan korporasi (misal: kasus kebakaran hutan oleh perusahaan sawit).
- Ambiguitas Definisi "Kerusakan Lingkungan": Rentan multitafsir dalam praktik peradilan.
Rekomendasi untuk Stakeholder
- Pelaku Usaha: Integrasikan Due Diligence Lingkungan dalam tata kelola perusahaan.
- Pemerintah Daerah: Optimalkan Sistem Informasi Lingkungan Hidup Daerah (SILHD) untuk monitoring real-time.
- Masyarakat Sipil: Manfaatkan hak gugat (Pasal 91) dan hak mengakses informasi (Pasal 65-66) untuk advokasi pro-lingkungan.
UU PPLH 2009 merupakan instrumen hukum progresif, tetapi efektivitasnya sangat bergantung pada konsistensi penegakan dan sinergi antar-pemangku kepentingan.