Analisis UU No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam
Konteks Historis
-
Maritim sebagai Poros Pembangunan
UU ini lahir dalam era pemerintahan Joko Widodo (2014–2019) yang mencanangkan Indonesia sebagai Global Maritime Fulcrum (Poros Maritim Dunia). Fokus pada sektor kelautan dan perikanan menjadi prioritas, termasuk perlindungan terhadap pelaku utama sektor tersebut: nelayan, pembudi daya ikan, dan petambak garam. -
Latar Belakang Krisis
- Nelayan Tradisional vs Kapal Asing: Maraknya praktik illegal fishing oleh kapal asing (seperti kasus penenggelaman kapal asing oleh Menteri Susi Pudjiastuti) merugikan nelayan lokal.
- Ketergantungan Impor Garam: Indonesia masih mengimpor 50-70% garam konsumsi, padahal potensi tambak garam lokal besar. Petambak garam kerap terhambat oleh iklim, teknologi rendah, dan persaingan harga.
- Kerentanan Sosial-Ekonomi: Nelayan dan pembudi daya ikan masuk dalam kelompok masyarakat berpendapatan rendah dengan akses terbatas ke modal, teknologi, dan pasar.
-
Regulasi Sebelumnya
UU No. 31/2004 dan UU No. 45/2009 tentang Perikanan belum menyentuh aspek perlindungan sosial, pemberdayaan ekonomi, dan keberlanjutan lingkungan secara holistik. UU No. 7/2016 hadir sebagai payung hukum yang lebih komprehensif.
Poin Krusial yang Perlu Diketahui
-
Cakupan Perlindungan
- Asuransi Nelayan: Jaminan keselamatan saat melaut (misalnya program Asuransi Nelayan dengan premi subsidi pemerintah).
- Larangan Alih Fungsi Lahan Tambak: Perlindungan lahan garam dari industrialisasi (Pasal 33).
- Penanggulangan Bencana Alam: Nelayan dan petambak garam masuk dalam kelompok prioritas bantuan saat bencana (Pasal 26).
-
Pemberdayaan Berbasis Teknologi
- Bantuan Teknologi Tangkap Ramah Lingkungan: Alat penangkap ikan yang selektif untuk mengurangi bycatch (hasil tangkapan sampingan).
- Penguatan Cold Chain: Rantai dingin untuk mengurangi kehilangan hasil tangkapan (30-40% ikan laut terbuang karena penanganan buruk).
-
Inklusi Petambak Garam
- Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Garam: Penetapan HPP untuk stabilisasi harga (misalnya Rp 1.500/kg untuk garam konsumsi).
- Pelarangan Impor Garam saat Panen Raya: Upaya melindungi petambak dari fluktuasi harga.
-
Peran Pemerintah Daerah
- Kewajiban pemda menyediakan pelabuhan perikanan (PPS) dan daerah penangkapan ikan (DPI) khusus nelayan kecil (Pasal 17).
- Pembentukan Komite Nasional dan Daerah untuk koordinasi lintas sektor (BKIPM, KKP, Kemenkop UKM).
Tantangan Implementasi
-
Tumpang Tindih Regulasi
UU ini harus selaras dengan UU Cipta Kerja (2020) yang mengubah izin perikanan dan tata ruang laut, berpotensi mengurangi perlindungan lahan tambak garam. -
Anggaran Terbatas
Alokasi dana perlindungan nelayan dalam APBN 2023 hanya Rp 1,2 triliun—dianggap tidak memadai untuk 2,7 juta nelayan tradisional. -
Perubahan Iklim
Kenaikan suhu laut dan cuaca ekstrem mengancam produktivitas. UU ini belum spesifik mengatur adaptasi perubahan iklim. -
Distribusi Bantuan Tidak Merata
Laporan BPK (2021) menemukan 30% bantuan kapal dan alat tangkap tidak tepat sasaran, terutama di daerah terpencil.
Relevansi dengan Tujuan Global
UU ini sejalan dengan SDGs 2030, khususnya:
- Goal 1 (Pengentasan Kemiskinan): Peningkatan pendapatan nelayan melalui akses pasar.
- Goal 8 (Pekerjaan Layak): Perlindungan hak-hak pekerja sektor perikanan.
- Goal 14 (Ekosistem Laut): Larang praktik penangkapan ikan merusak (Pasal 28).
Rekomendasi untuk Stakeholder
- Pemerintah: Perkuat sinergi KKP dengan Kemenkeu untuk perluasan program asuransi dan subsidi BBM nelayan.
- Petambak Garam: Manfaatkan skema KUR (Kredit Usaha Rakyat) dengan bunga 3% untuk modernisasi tambak.
- LSM: Awasi implementasi larangan alih fungsi lahan tambak garam di daerah pesisir.
Catatan Penting:
Meski UU No. 7/2016 progresif, keberhasilannya bergantung pada komitmen politik dan anggaran. Kasus kematian nelayan di Selat Malaca (2023) karena kurangnya alat keselamatan menunjukkan perlunya evaluasi berkala.