Berikut analisis mendalam mengenai UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan beserta konteks historis dan informasi pendukung kritis:
Konteks Historis:
-
Era Transformasi Ekonomi
UU ini lahir dalam fase deregulasi sektor finansial pasca-oil boom 1980-an, di bawah kepemimpinan Soeharto. Kebijakan ini melanjutkan Paket Kebijakan Oktober 1988 (PAKTO 88) yang membuka kompetisi perbankan nasional, termasuk izin pendirian bank swasta dan cabang bank asing. -
Respons atas Keterbatasan UU No. 14/1967
UU sebelumnya cenderung restriktif dengan dominasi BUMN di sektor perbankan (misal: Bank Bumi Daya, Bapindo). UU No. 7/1992 mereformasi sistem dengan mengakomodasi bank swasta dan asing untuk menarik investasi asing serta meningkatkan likuiditas pasar.
Inovasi Krusial:
-
Dual Banking System
Memperkenalkan konsep "Bank Umum" dan "Bank Perkreditan Rakyat (BPR)" sebagai fondasi klasifikasi institusi keuangan. Meski belum spesifik mengatur bank syariah, Pasal 6 huruf m membuka pintu bagi produk berbasis prinsip syariah—langkah awal menuju UU No. 10/1998 dan UU No. 21/2008. -
Otonomi Terbatas Bank Indonesia (BI)
UU ini menjadi batu loncatan transformasi BI dari bank komersil milik negara (era UU 1967) menjadi lembaga independen melalui UU No. 23/1999. Pasal 26-27 UU No. 7/1992 mulai menguatkan peran BI dalam pengawasan bank.
Dampak & Kritik:
- Booming Bank Swasta: Jumlah bank swasta melonjak dari 63 (1988) menjadi 240 (1994), tetapi diikuti praktik connected lending dan over-leverage yang berkontribusi pada krisis 1997-1998.
- Regulasi Pengawasan Longgar: Tidak adanya ketentuan fit and proper test pemilik bank dan batas maksimum pemberian kredit (LAR) menjadi celah penyalahgunaan.
- Dualisme Kebijakan: Liberalisasi di satu sisi vs. intervensi negara melalui program Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang kontroversial.
Amandemen & Penggantian:
UU ini direvisi oleh UU No. 10/1998 sebagai respons krisis moneter, kemudian digantikan sepenuhnya oleh UU No. 7/2004 tentang Bank Indonesia dan UU No. 21/2008 tentang Perbankan Syariah. Namun, prinsip dasar seperti pemisahan bank umum dan BPR tetap dipertahankan.
Legacy:
UU No. 7/1992 menjadi landmark transisi Indonesia dari sistem perbankan state-led menuju market-oriented, meski harus dibayar mahal melalui proses trial and error selama krisis. Kerangka hukum ini menjadi fondasi bagi perkembangan fintech dan digital banking di era modern.