Analisis UU No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia
Konteks Historis
-
Latar Belakang Reformasi
UU ini lahir sebagai respons atas maraknya kasus eksploitasi, perdagangan orang, dan pelanggaran HAM terhadap pekerja migran Indonesia (PMI), terutama di sektor domestik (seperti di Malaysia, Arab Saudi, dan Hong Kong). Selama puluhan tahun, PMI kerap menjadi korban kekerasan, upah tak dibayar, serta praktik perbudakan modern.- UU No. 39 Tahun 2004 sebelumnya dianggap gagal memadai karena lebih fokus pada "penempatan" daripada "perlindungan", sehingga BNP2TKI (Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI) dinilai tidak optimal.
- Tekanan dari lembaga sipil (seperti Migrant CARE), organisasi internasional (ILO, PBB), dan ratifikasi Konvensi PBB 1990 tentang Perlindungan Pekerja Migran (melalui UU No. 6/2012) memicu reformasi hukum.
-
Tragedi yang Memicu Perubahan
Kasus-kasus seperti hukuman mati tanpa perlindungan hukum (misalnya, Tuti Tursilawati di Arab Saudi) dan penyiksaan terhadap PMI (seperti Erwiana di Hong Kong) menjadi pemicu advokasi massif untuk revisi UU.
Inovasi Utama dalam UU 18/2017
-
Paradigma Baru: Dari Penempatan ke Perlindungan
- UU ini mengubah filosofi dari mengekspor tenaga kerja menjadi melindungi hak-hak PMI secara holistik (sebelum, selama, dan setelah bekerja).
- BNP2TKI direstrukturisasi menjadi Badan Pelindungan PMI dengan kewenangan lebih luas, termasuk koordinasi lintas kementerian.
-
Layanan Terpadu Satu Atap
- Memangkas birokrasi dengan integrasi layanan mulai dari rekrutmen, pelatihan, hingga pemulangan melalui sistem satu atap, mengurangi peran calo dan PJTKI (Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia) nakal.
-
Pembiayaan Berkeadilan
- PMI tidak lagi dibebani biaya penempatan tinggi yang menyebabkan utang. Negara dan perusahaan wajib menanggung biaya melalui sistem pembiayaan berkeadilan.
-
Jaminan Sosial dan Ekonomi
- PMI wajib memiliki Jaminan Sosial (BPJS Ketenagakerjaan dan Kesehatan) serta akses program reintegrasi pascabekerja (pelatihan, bantuan usaha).
-
Peran Atase Ketenagakerjaan
- Penempatan Atase Ketenagagerjaan di KBRI/KJRI untuk memantau kondisi PMI, mediasi kasus, dan kerja sama dengan negara tujuan.
-
Sanksi Tegas
- Hukuman berat bagi pelaku perdagangan orang, penipuan, atau pelanggaran hak PMI (pidana penjara hingga 10 tahun dan denda miliaran rupiah).
Tantangan Implementasi
-
Koordinasi Pemerintah Pusat-Daerah
- Masih terjadi tumpang tindih wewenang, terutama dalam pengawasan PJTKI dan penanganan PMI ilegal.
-
Peran PJTKI dan Praktik Ilegal
- Banyak PJTKI nakal yang tetap beroperasi dengan modus "biaya siluman", dokumen palsu, atau pemalsuan kontrak.
-
Keterbatasan Infrastruktur
- Layanan satu atap belum merata di seluruh daerah, terutama di wilayah rural yang menjadi kantong PMI.
-
Proteksi di Negara Tujuan
- Tidak semua negara tujuan (seperti Timur Tengah) memiliki MoU perlindungan PMI dengan Indonesia, menyulitkan penegakan hak.
Signifikansi Global
UU ini menjadi tonggak penting dalam memenuhi kewajiban Indonesia sebagai negara pengirim pekerja migran terbesar di ASEAN. Dengan mengadopsi prinsip konvensi PBB 1990, Indonesia menunjukkan komitmen untuk memenuhi standar HAM internasional.
Catatan Kritis:
Meski progresif, efektivitas UU ini sangat bergantung pada political will pemerintah, anggaran memadai, serta sinergi dengan masyarakat sipil. Pemantauan independen oleh LSM dan media tetap krusial untuk memastikan implementasi tidak hanya di atas kertas.