Analisis Hukum Terhadap UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri
Konteks Historis
-
Latar Belakang Sosial-Ekonomi:
- Sebelum 2004, Indonesia menghadapi masalah serius terkait eksploitasi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri, termasuk kasus perdagangan manusia, upah tidak dibayar, kekerasan fisik, dan kondisi kerja tidak manusiawi. Fenomena ini marak di negara tujuan seperti Malaysia, Arab Saudi, dan Hong Kong.
- Tingginya angka TKI ilegal (undocumented workers) akibat lemahnya pengawasan dan praktik calo tenaga kerja yang merugikan pekerja.
-
Regulasi Sebelumnya:
- UU ini menggantikan UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang dinilai tidak komprehensif dalam melindungi TKI.
- Sebelumnya, perlindungan TKI hanya diatur melalui Peraturan Pemerintah dan instrumen ad hoc, sehingga tidak memiliki kekuatan hukum yang kuat.
-
Tekanan Internasional:
- Indonesia meratifikasi Konvensi ILO No. 97 (1949) tentang Migrasi untuk Employment dan Konvensi PBB 1990 tentang Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran. UU No. 39/2004 menjadi upaya harmonisasi hukum nasional dengan standar internasional.
Poin Kunci UU No. 39/2004
-
Penempatan TKI yang Terorganisir:
- Mengatur peran PPTKIS (Perusahaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta) sebagai lembaga resmi penempatan TKI, mengurangi praktik ilegal.
- Kewajiban pemerintah membuat peta negara tujuan berdasarkan pertimbangan keamanan dan kebutuhan pasar.
-
Perlindungan Berlapis:
- Pra-Penempatan: Pelatihan keterampilan dan bahasa, pemeriksaan kesehatan, serta perjanjian kerja tertulis.
- Selama Bekerja: Pembentukan Sistem Informasi TKI Online untuk memantau kondisi pekerja.
- Pasca-Penempatan: Bantuan hukum dan reintegrasi sosial-ekonomi bagi TKI yang pulang.
-
Sanksi Hukum:
- Pasal 81-83 menjerat pelaku perdagangan orang, pemalsuan dokumen, atau eksploitasi TKI dengan pidana penjara hingga 10 tahun dan denda hingga Rp10 miliar.
Tantangan Implementasi
- Korupsi di PPTKIS: Banyak PPTKIS nakal yang memungut biaya tinggi atau memalsukan dokumen.
- Lemahnya Koordinasi Antar-Lembaga: BP3TKI (Badan Pelayanan Penempatan dan Perlindungan TKI) tidak memiliki kapasitas memadai untuk menjangkau seluruh wilayah.
- Kasus Kontroversial: Seperti kasus TKW di Arab Saudi yang dihukum mati (2011) menunjukkan perlindungan hukum di negara tujuan masih lemah.
Perkembangan Hukum Terkini
- UU No. 39/2004 dicabut dan digantikan oleh UU No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dengan beberapa perubahan mendasar:
- Penghapusan sistem "penyaluran" TKI oleh swasta, diganti dengan peran dominan pemerintah melalui BNP2TKI (Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI).
- Penekanan pada prinsip "zero cost" untuk menghapus biaya penempatan yang memberatkan TKI.
- Perlindungan lebih kuat bagi pekerja migran di sektor informal (seperti PRT).
Rekomendasi untuk Klien
- Jika klien terkait kasus yang terjadi sebelum 2017, UU No. 39/2004 masih relevan sebagai dasar hukum.
- Untuk kasus terkini, pastikan merujuk ke UU No. 18/2017, tetapi analisis historis UU No. 39/2004 dapat digunakan sebagai argumen dalam memperkuat posisi hukum klien, terutama terkait praktik lama yang masih berdampak.
Catatan Penting: Meski sudah dicabut, UU ini menjadi fondasi penting dalam evolusi kebijakan perlindungan TKI dan masih sering dirujuk dalam yurisprudensi terkait sengketa pekerja migran yang terjadi sebelum 2017.