Analisis UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran: Konteks Historis dan Informasi Tambahan
1. Latar Belakang Historis
- Penggantian UU No. 21/1992: UU ini lahir sebagai respons atas ketidaksesuaian UU No. 21/1992 dengan dinamika global dan kebutuhan domestik, seperti tuntutan otonomi daerah, liberalisasi perdagangan, dan perkembangan teknologi maritim. Reformasi 1998 juga mendorong perubahan paradigma dari sentralisasi ke desentralisasi, termasuk dalam pengelolaan pelabuhan.
- Konteks Geopolitik: Sebagai negara kepulauan terbesar, Indonesia membutuhkan kerangka hukum yang kuat untuk mengoptimalkan potensi maritim sekaligus menjaga kedaulatan. UU ini menjadi instrumen strategis untuk memperkuat Wawasan Nusantara dan ketahanan nasional.
2. Asas Cabotage (Pasal 8)
- Misi Ekonomi-Nasionalis: Asas ini melarang kapal asing mengangkut barang dan penumpang antarpulau di Indonesia. Tujuannya memproteksi industri pelayaran nasional, tetapi menuai kritik karena dianggap menghambat investasi asing. Praktik "lampu merah" (pembolehan sementara kapal asing) kerap terjadi akibat ketidaksiapan armada nasional.
- Dampak Positif: Mendorong pertumbuhan industri galangan kapal dan perusahaan pelayaran domestik, seperti PT Pelni dan PT ASDP.
3. Reformasi Kepelabuhanan
- Pemisahan Regulator-Operator: UU ini menghapus monopoli Pelindo (BUMN Pelabuhan) dengan memperkenalkan Otoritas Pelabuhan sebagai regulator independen. Swasta dan pemda diberi ruang mengelola terminal khusus (misalnya, Terminal Petikemas Surabaya oleh Pelindo III dan mitra swasta).
- Tantangan: Koordinasi antara otoritas pusat-daerah seringkali rumit, terutama dalam alokasi anggaran dan pembangunan infrastruktur.
4. Hipotek Kapal (Pasal 222-224)
- Inovasi Finansial: Pengaturan hipotek kapal bertujuan meningkatkan akses pendanaan bagi perusahaan pelayaran. Namun, implementasinya terhambat oleh birokrasi pendaftaran kapal dan penilaian agunan yang rumit. Peraturan teknis (seperti PM No. 71/2019) kemudian disusun untuk mempermudah proses.
5. Keselamatan dan Keamanan
- Harmonisasi dengan Konvensi Internasional: UU ini mengadopsi ISPS Code (keamanan pelabuhan) dan SOLAS (keselamatan kapal). Indonesia juga meratifikasi MARPOL 73/78 (pencegahan polusi laut) melalui UU No. 19/1999.
- Pembentukan Bakamla (Pasal 276): Lembaga ini dirancang sebagai coast guard terintegrasi, tetapi tumpang tindih kewenangan dengan TNI AL dan KPLP (Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai) masih menjadi persoalan.
6. Perlindungan Lingkungan Maritim
- Sanksi Pencemaran: UU ini mengenakan denda hingga Rp6 miliar untuk pelanggaran pencemaran laut (Pasal 203). Namun, penegakan hukum masih lemah karena terbatasnya alat pemantauan dan SDM di lapangan.
7. Tantangan Implementasi
- Regulasi Turunan: UU ini merujuk 40+ Peraturan Pemerintah/Menteri, tetapi banyak yang terlambat terbit (misalnya, PP No. 61/2018 tentang Kepelabuhanan baru terbit 10 tahun setelah UU).
- Kapasitas SDM: Rendahnya kualitas awak kapal dan petugas pelabuhan menghambat penerapan standar keselamatan internasional.
8. Dampak Strategis
- UU ini menjadi landasan pembangunan Tol Laut (2014-sekarang) untuk pemerataan logistik dan penguatan konektivitas antarpulau.
- Pelabuhan Patimban (Jawa Barat) dan Kuala Tanjung (Sumatra Utara) dibangun dengan skema public-private partnership sesuai semangat UU ini.
Kesimpulan: UU No. 17/2008 mencerminkan komitmen Indonesia menjadi poros maritim dunia, meski perlu evaluasi menyeluruh terhadap efektivitas regulasi turunan dan koordinasi antarlembaga.