Berikut analisis mendalam mengenai UU No. 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air (SDA), dilengkapi konteks historis dan informasi kritis yang perlu diketahui:
Latar Belakang Historis
-
Revisi UU SDA Sebelumnya
UU ini menggantikan UU No. 7 Tahun 2004 tentang SDA yang dibatalkan sebagian oleh Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan MK No. 85/PUU-XI/2013. MK menilai UU 7/2004 bertentangan dengan UUD 1945, terutama terkait pengabaian prinsip penguasaan negara atas air untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Putusan ini memicu urgensi pembentukan regulasi baru yang lebih menjamin akses publik terhadap air. -
Kritik Global dan Nasional
- Isu privatisasi air melalui kontroversi kerja sama swasta dalam pengelolaan SDA (misalnya kasus privatisasi PDAM di Jakarta).
- Tekanan lembaga internasional (seperti Bank Dunia) untuk liberalisasi sektor air, yang dianggap bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945.
- Konflik antarwilayah akibat ketimpangan distribusi air (e.g., sengketa aliran Sungai Brantas antara Jawa Timur dan Jawa Tengah).
Poin Krusial UU 17/2019
-
Reafirmasi Penguasaan Negara
UU ini secara tegas menyatakan bahwa air dikuasai oleh negara, bukan komoditas privat. Hal ini merespons putusan MK dan menegaskan kembali konstitusi. -
Pola Pengelolaan Berbasis Wilayah Sungai (WS)
- Mengadopsi pendekatan integrated water resources management (IWRM) untuk mengatasi fragmentasi kewenangan.
- Contoh: Pengelolaan Sungai Citarum yang melibatkan multi-pemangku kepentingan (KLHK, PUPR, Pemprov Jabar, dll.) di bawah koordinasi satuan tugas khusus.
-
Peran Strategis Desa
Pemerintah desa diberi kewenangan membantu pengelolaan SDA, seperti revitalisasi embung tradisional di NTT atau sistem subak di Bali. Ini merefleksikan pengakuan terhadap kearifan lokal. -
Pelibatan BUMN/BUMD
Pasal 12 mengizinkan BUMN/BUMD (e.g., PT Jasa Tirta) sebagai operator teknis, tetapi dengan pengawasan ketat untuk mencegah komersialisasi.
Kontroversi dan Tantangan Implementasi
-
Ambivalensi Privatisasi
Meski UU menegaskan penguasaan negara, Pasal 46 tentang kerja sama swasta masih berpotensi disalahartikan sebagai pintu privatisasi. Civil society (e.g., Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air) tetap kritis. -
Kompleksitas Koordinasi
- Indonesia memiliki 440 Wilayah Sungai, namun kapasitas kelembagaan (Balai Besar/Balai Wilayah Sungai) masih terbatas.
- Tumpang-tindih kewenangan antara PUPR, KLHK, Kementerian ATR/BPN, dan pemerintah daerah.
-
Konflik Lahan di Daerah Aliran Sungai (DAS)
Kasus alih fungsi lahan hutan di DAS Kapuas (Kalimantan) untuk perkebunan sawit menunjukkan tantangan integrasi kebijakan SDA dengan tata ruang.
Keterkaitan dengan Agenda Global
UU ini sejalan dengan SDGs Goal 6 (jaminan akses air bersih) dan Paris Agreement (peran ekosistem air dalam mitigasi perubahan iklim). Namun, perlu diperkuat dengan:
- Alokasi APBN/APBD yang memadai untuk infrastruktur air berkelanjutan.
- Penegakan hukum terhadap pencemar (e.g., kasus pencemaran Sungai Siak oleh industri sawit di Riau).
Rekomendasi Strategis
- Percepatan penyusunan Rencana Pengelolaan SDA berbasis WS dengan melibatkan akademisi dan komunitas.
- Penguatan fungsi water police untuk penegakan hukum lingkungan di sektor SDA.
- Optimalisasi teknologi artificial intelligence (e.g., prediksi kekeringan via IoT) dalam sistem monitoring SDA.
UU No. 17/2019 merupakan terobosan konstitusional, namun efektivitasnya bergantung pada konsistensi implementasi dan pengawasan partisipatif.