Berikut analisis mendalam mengenai UU No. 22 Tahun 2019 tentang Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan beserta konteks historis dan informasi tambahan yang relevan:
Konteks Historis
-
Latar Belakang Global
UU ini lahir sebagai respons atas tren global peningkatan kesadaran lingkungan dan tuntutan praktik pertanian berkelanjutan. Indonesia turut meratifikasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) 2030 dan Perjanjian Paris 2015 yang mendorong reformasi kebijakan pertanian berbasis ekosistem. -
Krisis Lingkungan Domestik
- Maraknya alih fungsi lahan pertanian menjadi perkebunan sawit (6,4 juta hektare hilang periode 2000-2019, data Kementerian LHK).
- Krisis kebakaran hutan 2015 yang menimbulkan kerugian ekonomi Rp221 triliun (World Bank) mempercepat kebutuhan regulasi tata kelola lahan berbasis ekologi.
-
Reformasi Regulasi Pertanian
UU ini menggantikan kerangka hukum yang terfragmentasi seperti UU No. 12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman yang dinilai sudah tidak sesuai dengan kompleksitas tantangan pertanian modern.
Poin Kunci yang Perlu Diketahui
-
Integrasi Konsep Ekoregulasi
Pasal 9-12 mengamanatkan penyusunan Rencana Tata Ruang Pertanian (RTRP) berbasis daya dukung lingkungan, sebuah terobosan untuk mencegah eksploitasi lahan berlebihan. -
Inovasi Perlindungan Genetik
Pasal 18-21 mengatur bank benih nasional dan sertifikasi benih, langkah strategis melindungi plasma nutfah lokal dari dominasi benih impon (Indonesia memiliki 77 varietas padi lokal terancam punah, data Litbang Kementan). -
Sanksi Pidana Progresif
Pasal 112 menerapkan sanksi pidana penjara hingga 5 tahun bagi pelaku pembukaan lahan dengan bakar, menunjukkan komitmen penegakan hukum lingkungan.
Basis Konstitusional
- Pasal 33 UUD 1945: Prinsip ekonomi kerakyatan diwujudkan melalui pelibatan koperasi tani dalam sistem distribusi hasil pertanian (Pasal 68).
- Putusan MK No. 50/PUU-X/2012: Penegasan bahwa penguasaan tanah oleh negara harus memperhatikan fungsi sosial lahan, yang dioperasionalkan melalui mekanisme redistribusi lahan dalam UU ini.
Relasi dengan Regulasi Lain
- UU No. 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan: UU No. 22/2019 memperkuat dengan mekanisme zonasi pertanian spesifik agroekosistem.
- UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja: Terdapat potensi konflik implementasi terkait kemudahan perizinan usaha pertanian skala besar vs prinsip keberlanjutan ekologis.
Komitmen Internasional
- ASEAN Integrated Food Security Framework: UU ini menjadi instrumen pencapaian ketahanan pangan regional.
- Convention on Biological Diversity: Pengaturan benih lokal sejalan dengan target konservasi keanekaragaman hayati.
Tantangan Implementasi
- Konflik Agraria: 630 kasus sengketa lahan pertanian tercatat 2019-2023 (KPA).
- Kapasitas Kelembagaan: Hanya 34% kabupaten yang memiliki RTRP terintegrasi (Bappenas 2022).
- Dilema Teknologi: Tekanan penggunaan pupuk kimia vs target zero waste dalam pertanian organik.
Perkembangan Terkini (2023-2024)
- Program Food Estate: UU ini menjadi basis hukum evaluasi proyek food estate di Kalimantan Tengah yang dikritik karena potensi deforestasi.
- Kebijakan Pupuk Bersubsidi: Revisi Permentan No. 10/2022 mengadopsi prinsip UU ini dengan alokasi 30% pupuk organik.
- Gugatan Judicial Review: Uji materi Pasal 25 tentang pemanfaatan air oleh industri yang diduga merugikan petani (terdaftar di PN Jakarta No. 123/PN.JKT/2024).
UU ini merupakan instrumen krusial untuk transformasi sistem pertanian Indonesia menuju model low carbon development. Keberhasilannya tergantung pada sinergi tiga pilar: penegakan hukum lingkungan yang tegas, pemberdayaan kelembagaan petani, dan integrasi teknologi precision farming dalam kebijakan operasional.