Analisis Mendalam terhadap UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran
1. Konteks Historis dan Politik
- Era Reformasi: UU ini lahir pasca-Reformasi 1998, menggantikan UU No. 24 Tahun 1997 yang dianggap sebagai produk Orde Baru dengan sentralisasi kekuasaan dan kontrol ketat pemerintah atas konten siaran. UU No. 32/2002 mencerminkan semangat demokratisasi, termasuk kebebasan pers dan desentralisasi penyiaran.
- Transisi ke Demokrasi: Dibentuknya Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai lembaga independen (Pasal 6) adalah terobosan untuk mengurangi intervensi pemerintah langsung dalam pengawasan siaran, meskipun dalam praktiknya, tarik-menarik kepentingan politik tetap terjadi.
2. Prinsip Utama yang Revolusioner
- Keberagaman Konten (Pasal 5): Menekankan perlindungan terhadap konten lokal, budaya, dan bahasa daerah. Ini menjadi dasar kuota 60% siaran lokal di stasiun TV (diatur lebih lanjut dalam Peraturan KPI).
- Klasifikasi Lembaga Penyiaran: Pengakuan tiga jenis lembaga penyiaran—publik (misal: TVRI), swasta (komersial), dan komunitas (non-profit/lokal)—merupakan upaya mendorong pluralisme di industri yang sebelumnya didominasi swasta nasional.
- Larangan Monopoli (Pasal 18): Pembatasan kepemilikan silang (cross-ownership) antar-media untuk mencegah konsentrasi kekuasaan informasi di satu kelompok.
3. Kontroversi dan Tantangan Implementasi
- Independensi KPI: Meski diatur sebagai lembaga negara independen (Pasal 6), proses seleksi anggota KPI oleh DPR kerap dipolitisasi. Contoh kasus: pada 2021, polemik pengangkatan anggota KPI periode 2022-2025 menuai kritik karena dianggap tidak transparan.
- Sanksi dan Pembekuan Siaran: Pasal 55 tentang sanksi administratif (seperti denda hingga pencabutan izin) kerap dianggap terlalu represif, terutama untuk stasiun kritis. Misalnya, pembekuan sementara siaran TV tertentu selama pemilu 2019 dianggap bias.
- Tumpang Tindih Regulasi: Aturan larangan konten SARA (Pasal 36) bersinggungan dengan UU ITE, menimbulkan risiko over-criminalization.
4. Dinamika Perkembangan Teknologi
- Keterbatasan pada Penyiaran Digital: UU ini belum mengantisipasi maraknya platform streaming (Netflix, YouTube) yang tidak tunduk pada aturan siaran konvensional. Revisi RUU Penyiaran yang diusulkan sejak 2020 masih mandek di DPR.
- Migrasi Analog ke Digital: Pasal 48 tentang spektrum frekuensi menjadi dasar kebijakan analog switch-off (ASO) pada 2022, tetapi distribusi set-top box untuk masyarakat miskin dinilai tidak merata.
5. Putusan Pengadilan yang Signifikan
- Putusan MK No. 32/PUU-XV/2017: Mahkamah Konstitusi menolak judicial review terkait kewenangan KPI dalam mengatur iklan, dengan pertimbangan bahwa kontrol iklan (misal: durasi maksimal 20% per jam siaran) diperlukan untuk melindungi kepentingan publik.
- Sengketa Lisensi: Banyak kasus sengketa izin penyiaran komunitas, seperti Radio komunitas di Yogyakarta (2015), yang harus berjuang melawan dominasi operator besar meski dijamin Pasal 21.
6. Rekomendasi untuk Pembaruan
- Perluasan Definisi "Penyiaran": Merevisi UU untuk mencakup platform digital dan over-the-top (OTT) guna mencegah monopoli konten oleh perusahaan global.
- Penguatan KPI Daerah: Optimalisasi peran KPI daerah (Pasal 14) dalam mengawasi siaran lokal sekaligus mencegah intervensi kepala daerah.
Kesimpulan: UU No. 32/2002 adalah fondasi penting demokratisasi penyiaran, tetapi perlu adaptasi terhadap perkembangan teknologi dan penguatan mekanisme checks and balances untuk memastikan independensi KPI.