Analisis Mendalam terhadap UU No. 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Konteks Historis
UU No. 11 Tahun 2019 menggantikan UU No. 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Iptek. Perubahan ini dilatarbelakangi oleh:
- Dinamika Global: Perkembangan teknologi disruptif (seperti AI, big data, dan bioteknologi) yang memaksa Indonesia memperkuat kerangka regulasi agar mampu bersaing di era Revolusi Industri 4.0.
- Tuntutan Pembangunan Berkelanjutan: Perlunya integrasi Iptek dalam mencapai target SDGs (Sustainable Development Goals) dan pembangunan nasional berbasis inovasi.
- Isu Kedaulatan Teknologi: Maraknya praktik eksploitasi sumber daya lokal (misal: keanekaragaman hayati) oleh pihak asing tanpa kontribusi nyata bagi Indonesia, mendorong pengaturan ketat tentang alih teknologi dan kliring teknologi.
Poin Kritis yang Perlu Diketahui
-
Kliring Teknologi dan Audit Teknologi
- Tujuan: Mencegah ketergantungan pada teknologi impor dan memastikan transfer teknologi strategis (misal: pertahanan, energi) disertai alih pengetahuan.
- Contoh Praktis: Proyek infrastruktur berbasis teknologi asing (seperti pembangkit listrik) wajib melalui audit untuk memastikan kesesuaian dengan kebutuhan lokal dan keberlanjutan lingkungan.
-
Wajib Serah Data Primer
- Implikasi: Peneliti asing atau lembaga internasional (contoh: LIPI kolaborasi dengan UNESCO) wajib menyerahkan data mentah hasil penelitian di Indonesia kepada pemerintah. Ini untuk mencegah kasus seperti "biopiracy" (pencurian sumber daya genetik) yang pernah terjadi di sektor farmasi dan pertanian.
-
Perlindungan Kearifan Lokal & Spesimen Indonesia
- Latar Belakang: Kasus patenting tempe dan jamu oleh pihak asing menjadi pemicu utama. UU ini mengatur bahwa penelitian berbasis kearifan lokal harus melibatkan komunitas dan hasilnya tidak boleh dikomersialisasi tanpa izin.
-
Politik Luar Negeri Bebas-Aktif dalam Kemitraan Iptek
- Strategi: Indonesia tidak ingin terjebak dalam rivalitas teknologi global (AS vs China), sehingga kemitraan harus seimbang dan mengutamakan kepentingan nasional. Contoh: Proyek riset bersama dengan negara-negara ASEAN di bidang energi terbarukan.
Tantangan Implementasi
- Koordinasi Lembaga: UU ini melibatkan banyak pemangku kepentingan (BRIN, Kemenristekdikti, Kemenkeu, Pemda). Overlapping kewenangan berpotensi menghambat integrasi sistem.
- Sanksi yang Belum Jelas: Meski mengatur wajib simpan data, UU tidak secara tegas menyebut sanksi bagi pelanggar. Perlu Peraturan Pemerintah (PP) atau Perpres untuk operasionalisasi.
- Dana Riset Minim: Anggaran riset Indonesia hanya 0,3% dari APBN (2023), jauh di bawah standar UNESCO (1%). Tanpa peningkatan anggaran, target inovasi sulit tercapai.
Praktik Terkini
- BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional): Dibentuk melalui Perpres No. 78/2021, BRIN menjadi leading sector dalam mengonsolidasikan 84 lembaga riset untuk menghindari duplikasi dan memfokuskan pada prioritas nasional (misal: teknologi hijau, kesehatan).
- Database Nasional Iptek: Pemerintah sedang menyusun platform terintegrasi untuk memetakan hasil riset, sehingga dapat diakses oleh industri dan akademisi.
Rekomendasi untuk Stakeholder
- Pelaku Usaha: Manfaatkan insentif pajak untuk kegiatan R&D yang sesuai dengan Rencana Induk Pemajuan Iptek.
- Peneliti Asing: Patuhi ketentuan kliring teknologi dan kolaborasikan dengan lembaga lokal untuk memenuhi kewajiban alih teknologi.
- Masyarakat Sipil: Awasi implementasi wajib serah data untuk mencegah eksploitasi sumber daya lokal oleh pihak asing.
UU No. 11/2019 adalah respons progresif atas tantangan Iptek abad 21, namun efektivitasnya bergantung pada komitmen politik dan sinergi antarlembaga.