Analisis Hukum Terkait UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
Berikut konteks historis dan informasi pendukung yang relevan untuk memahami UU ini secara komprehensif:
1. Latar Belakang Penggantian UU No. 9 Tahun 1985
UU No. 31 Tahun 2004 lahir sebagai respons atas kekurangan UU Perikanan sebelumnya (UU No. 9/1985) yang dianggap:
- Tidak komprehensif: Tidak mengatur aspek pengelolaan sumber daya ikan secara holistik, termasuk pencegahan eksploitasi berlebihan (overfishing) dan perlindungan ekosistem laut.
- Ketinggalan zaman: Tidak mampu mengantisipasi perkembangan teknologi penangkapan ikan, praktik ilegal (illegal fishing), serta tuntutan pengelolaan berkelanjutan sesuai prinsip global (misalnya Code of Conduct for Responsible Fisheries FAO 1995).
- Lemahnya penegakan hukum: Sanksi pidana dalam UU No. 9/1985 dinilai tidak efektif mencegah praktik perikanan ilegal, terutama oleh kapal asing.
2. Konteks Politik-Ekonomi
- Reformasi 1998: Pasca-Orde Baru, tuntutan desentralisasi dan penguatan kedaulatan maritim semakin mengemuka. UU ini menjadi bagian dari upaya reformasi hukum kelautan untuk mengatasi kerugian negara akibat pencurian ikan.
- Ancaman IUU Fishing: Indonesia, sebagai negara kepulauan terbesar, rentan terhadap Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing (IUUF) yang merugikan triliunan rupiah per tahun. UU No. 31/2004 memperkuat kewenangan pengawasan dan sanksi pidana untuk mengatasi hal ini.
- Globalisasi perdagangan ikan: UU ini juga menyesuaikan standar internasional terkait sertifikasi, keamanan hasil perikanan, dan hak nelayan tradisional.
3. Inovasi Penting dalam UU No. 31/2004
- Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP): Membagi 11 zona perairan Indonesia sebagai dasar pengelolaan berbasis ekosistem.
- Sanksi Pidana yang Lebih Berat: Menerapkan denda hingga Rp 20 miliar dan pidana penjara (Pasal 84-93) untuk pelanggaran serius, seperti penggunaan alat tangkap terlarang atau penangkapan di zona terlarang.
- Pengadilan Perikanan: Pertama kali di Indonesia, dibentuk untuk mempercepat penanganan perkara perikanan dengan hakim ad hoc yang memahami kompleksitas teknis.
- Pemberdayaan Nelayan Kecil: Mengamanatkan perlindungan hak nelayan tradisional dan pembudidaya ikan kecil melalui program akses modal, teknologi, dan pasar.
4. Dampak dan Perkembangan Setelah 2004
- Revisi UU No. 45 Tahun 2009: Memperkuat sanksi bagi kapal asing yang mencuri ikan, termasuk sinking policy (penenggelaman kapal ilegal) di bawah Menteri Susi Pudjiastuti.
- Tantangan Implementasi: Masih ada masalah tumpang tindih kewenangan antara pemerintah pusat-daerah, minimnya sumber daya pengawasan, dan konflik nelayan tradisional vs industri besar.
- Isu Lingkungan: UU ini menjadi dasar penuntutan kasus perusakan terumbu karang atau penggunaan bom/potassium sianida dalam penangkapan ikan.
5. Landasan Konstitusional
Pasal 33 UUD 1945 menjadi roh UU ini, khususnya ayat (3): "Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat." Hal ini tercermin dalam pengaturan hak nelayan kecil, larangan monopoli usaha perikanan, dan kewajiban negara menjaga keberlanjutan sumber daya ikan.
Kesimpulan: UU No. 31/2004 adalah instrumen krusial dalam transformasi kebijakan kelautan Indonesia dari era eksploitasi menuju pengelolaan berkelanjutan. Namun, efektivitasnya sangat bergantung pada komitmen penegakan hukum, sinergi antarlembaga, dan pemberdayaan masyarakat pesisir.