Undang-undang (UU) Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal

Status: Berlaku

Konteks dari Meridian

Generated by Meridian AI

Analisis Hukum Terhadap UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH)

Konteks Historis

  1. Latar Belakang Sosial-Keagamaan

    • Indonesia, dengan populasi Muslim terbesar di dunia, memiliki tuntutan tinggi terhadap kepastian kehalalan produk. Sebelum UU ini, sertifikasi halal bersifat sukarela dan diinisiasi swasta (misalnya oleh LPPOM-MUI). Namun, maraknya produk ambigu (syubhat) dan kasus penyalahgunaan label halal mendorong perlunya payung hukum yang mengikat.
    • UU ini menjawab amanat Pasal 29 UUD 1945 yang menjamin kebebasan beragama, termasuk perlindungan hak konsumen Muslim untuk mengakses produk halal.
  2. Regulasi Sebelumnya

    • Sertifikasi halal sebelumnya diatur melalui PP No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan serta fatwa MUI. Namun, regulasi ini tidak komprehensif dan kurang memiliki kekuatan memaksa.

Inovasi Utama dalam UU JPH

  1. Sertifikasi Halal Wajib

    • UU ini memperkenalkan kewajiban sertifikasi halal untuk seluruh produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di Indonesia, kecuali produk yang jelas haram (harus diberi label "tidak halal").
    • BPJPH (Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal) dibentuk sebagai lembaga resmi di bawah Kementerian Agama untuk mengoordinasi proses sertifikasi, menggantikan peran dominan MUI sebelumnya.
  2. Pemisahan Peran MUI dan Pemerintah

    • MUI tetap memiliki otoritas menetapkan fatwa halal melalui sidang komisi fatwa, tetapi proses administratif (seperti penerbitan sertifikat) menjadi tanggung jawab BPJPH. Ini mengurangi potensi konflik kepentingan dan meningkatkan akuntabilitas.
  3. Dukungan untuk UMKM

    • UU mengatur skema subsidi atau fasilitasi biaya sertifikasi bagi pelaku usaha mikro dan kecil melalui APBN/APBD, perusahaan, atau lembaga sosial. Hal ini untuk mencegah beban ekonomi berlebihan pada UMKM.

Tantangan Implementasi

  1. Transisi dan Sosialisasi

    • Meski diundangkan pada 2014, implementasi penuh tertunda hingga 2019 karena pembentukan infrastruktur BPJPH dan harmonisasi aturan turunan (seperti PP No. 39 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan JPH).
    • Pelaku usaha, terutama UMKM, awalnya resisten karena biaya dan prosedur yang dianggap rumit.
  2. Globalisasi dan Daya Saing

    • UU ini memperkuat posisi Indonesia di pasar halal global, tetapi juga menuntut kesiapan industri dalam memenuhi standar internasional (contoh: ASEAN Halal Standards).
  3. Pengawasan dan Sanksi

    • Sanksi pidana (penjara hingga 5 tahun) dan administratif (denda hingga Rp2 miliar) diterapkan untuk pelanggaran. Namun, pengawasan di lapangan masih lemah karena terbatasnya sumber daya BPJPH.

Pertimbangan Strategis

  • Ekonomi Syariah: UU JPH menjadi fondasi pengembangan ekonomi syariah, termasuk pariwisata halal dan keuangan syariah.
  • Transparansi: Kewajiban label "tidak halal" meningkatkan perlindungan bagi non-Muslim dan menghindari praktik penipuan.
  • Digitalisasi: BPJPH kini mengembangkan sistem online untuk permohonan sertifikasi guna mempermudah akses pelaku usaha.

Rekomendasi untuk Klien

  • Pastikan produk telah melalui proses Halal Critical Point dan didukung dokumen lengkap (contoh: traceability bahan baku).
  • Manfaatkan insentif pemerintah untuk mengurangi biaya sertifikasi, khususnya UMKM.
  • Waspadai perubahan regulasi turunan, seperti Peraturan Menteri Agama tentang kriteria LPH (Lembaga Pemeriksa Halal) dan penyelia halal.

UU JPH bukan hanya instrumen hukum, tetapi juga bagian dari komitmen negara dalam membangun ekosistem halal yang berintegritas dan berkelanjutan.

Meridian AI bisa salah. Cek konten penting.

Materi Pokok Peraturan

Pokok-pokok pengaturan dalam Undang-Undang ini antara lain adalah sebagai berikut. Untuk menjamin ketersediaan Produk Halal, ditetapkan bahan produk yang dinyatakan halal, baik bahan yang berasal dari bahan baku hewan, tumbuhan, mikroba, maupun bahan yang dihasilkan melalui proses kimiawai, proses biologi, atau proses rekayasa genetik. Di samping itu, ditentukan pula PPH yang merupakan rangkaian kegiatan untuk menjamin kehalalan Produk yang mencakup penyediaan bahan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian Produk. Undang-Undang ini mengatur hak dan kewajiban Pelaku Usaha dengan memberikan pengecualian terhadap Pelaku Usaha yang memproduksi Produk dari Bahan yang berasal dari Bahan yang diharamkan dengan kewajiban mencantumkan secara tegas keterangan tidak halal pada kemasan Produk atau pada bagian tertentu dari Produk yang mudah dilihat, dibaca, tidak mudah terhapus, dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Produk. Dalam rangka memberikan pelayanan publik, Pemerintah bertanggung jawab dalam menyelenggarakan JPH yang pelaksanaannya dilakukan oleh BPJPH. Dalam menjalankan wewenangnya, BPJH bekerja sama dengan kementerian dan/atau lembaga terkait, MUI, dan LPH. Tata cara memperoleh Sertifikat Halal diawali dengan pengajuan permohonan Sertifikat Halal oleh Pelaku Usaha kepada BPJPH. Selanjutnya, BPJPH melakukan pemeriksaan kelengkapan dokumen. Pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk dilakukan oleh LPH. LPH tersebut harus memperoleh akreditasi dari BPJH yang bekerjasama dengan MUI. Penetapan kehalalan Produk dilakukan oleh MUI melalui sidang fatwa halal MUI dalam bentuk keputusan Penetapan Halal Produk yang ditandatangani oleh MUI. BPJPH menerbitkan Sertifikat Halal berdasarkan keputusan Penetapan Halal Produk dari MUI tersebut. Biaya sertifikasi halal dibebankan kepada Pelaku Usaha yang mengajukan permohonan Sertifikat Halal. Dalam rangka memperlancar pelaksanaan penyelenggaraan JPH, Undang- Undang ini memberikan peran bagi pihak lain seperti Pemerintah melalui anggaran pendapatan dan belanja negara, pemerintah daerah melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah, perusahaan, lembaga sosial, lembaga keagamaan, asosiasi, dan komunitas untuk memfasilitasi biaya sertifikasi halal bagi pelaku usaha mikro dan kecil. Dalam rangka menjamin pelaksanaan penyelenggaraan JPH, BPJPH melakukan pengawasan terhadap LPH; masa berlaku Sertifikat Halal; kehalalan Produk; pencantuman Label Halal; pencantuman keterangan tidak halal; pemisahan lokasi, tempat dan alat pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, serta penyajian antara Produk Halal dan tidak halal; keberadaan Penyelia Halal; dan/atau kegiatan lain yang berkaitan dengan JPH. Untuk menjamin penegakan hukum terhadap pelanggaran Undang-Undang ini, ditetapkan sanksi administratif dan sanksi pidana.

Subjek

KEAGAMAAN, IBADAH, DAN PENYELENGGARAAN HAJI - PERLINDUNGAN USAHA, PERUSAHAAN, BADAN USAHA, PERDAGANGAN - PERIZINAN, PELAYANAN PUBLIK

Metadata

TentangJaminan Produk Halal
Tipe DokumenPeraturan Perundang-undangan
Nomor33
BentukUndang-undang (UU)
Bentuk SingkatUU
Tahun2014
Tempat PenetapanJakarta
Tanggal Penetapan17 Oktober 2014
Tanggal Pengundangan17 Oktober 2014
Tanggal Berlaku17 Oktober 2014
SumberLN.2014/No. 295, TLN No. 5604, LL SETNEG: 26 HLM
BahasaBahasa Indonesia
LokasiPemerintah Pusat

Status Peraturan

Diubah Dengan

  1. UU No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022
  2. PERPU No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja
  3. UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja

Network Peraturan

Loading network graph...

Dokumen