Berikut analisis mendalam mengenai UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), dilengkapi konteks historis dan informasi kritis yang perlu diketahui:
Latar Belakang Historis
-
Penggantian UU No. 3 Tahun 1997
UU ini lahir sebagai respons atas ketidaksesuaian UU Pengadilan Anak sebelumnya (UU No. 3/1997) dengan prinsip perlindungan anak internasional, terutama Konvensi Hak-Hak Anak (CRC) 1989 yang diratifikasi Indonesia melalui Keppres No. 36/1990. UU lama dinilai terlalu fokus pada hukuman (retributif) dan belum mengakomodasi pendekatan keadilan restoratif. -
Tekanan Internasional dan Nasional
Pada 2009, Komite CRC PBB merekomendasikan agar Indonesia mereformasi sistem peradilan anaknya. Di tingkat domestik, maraknya kasus anak berhadapan dengan hukum (ABH) yang ditangani secara represif (misalnya: penahanan anak bersama orang dewasa) memicu urgensi revisi hukum.
Inovasi Krusial dalam UU No. 11/2012
-
Diversi sebagai Poros Utama
- Definisi: Penyelesaian perkara di luar proses peradilan melalui musyawarah dengan melibatkan anak, korban, keluarga, dan pihak terkait.
- Syarat: Hanya berlaku untuk tindak pidana dengan ancaman hukuman di bawah 7 tahun, dan bukan pengulangan kejahatan.
- Tujuan: Menghindari stigma "anak nakal" dan memprioritaskan pemulihan korban serta reintegrasi sosial anak.
-
Pembatasan Pidana Penjara
- Pidana penjara untuk anak menjadi ultimum remedium (upaya terakhir).
- Maksimal hukuman untuk anak adalah 1/2 dari hukuman dewasa (Pasal 81). Misalnya, jika ancaman hukuman maksimal untuk dewasa 10 tahun, untuk anak hanya 5 tahun.
-
Perlindungan Anak Korban/Saksi
Anak korban/saksi berhak mendapat pendampingan psikologis, advokasi, dan perlindungan dari intimidasi (Pasal 60-61), selaras dengan UU No. 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Tantangan Implementasi
-
Regulasi Turunan yang Belum Komprehensif
Meski UU ini mengamanatkan 8 Peraturan Pemerintah (PP) dan 2 Peraturan Presiden (Perpres), hingga 2023 belum semua terbit. Contoh: PP tentang Petugas Kemasyarakatan (PASCA) masih menggunakan pedoman lama. -
Ketimpangan Infrastruktur
- Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) hanya tersedia di 34 provinsi, sementara kabupaten/kota masih minim.
- Hak Bantuan Hukum (UU No. 16/2011) sering tidak terakses karena terbatasnya jumlah advokat terlatih di bidang ABH.
-
Budaya Hukum yang Masih Represif
Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) 2021 menunjukkan 67% aparat penegak hukum belum memahami mekanisme diversi, sehingga banyak anak tetap diproses ke pengadilan.
Preseden Penting
-
Putusan MA No. 108K/Pid.Sus/2016
Mahkamah Agung membatalkan vonis pidana penjara terhadap anak pelaku pencurian ringan, menegaskan bahwa diversi harus diutamakan meski sudah masuk tahap persidangan. -
Kasus Anak sebagai Pelaku Terorisme
UU ini diuji saat menangani anak pelaku bom bunuh diri (contoh: kasus gereja di Makassar, 2021). Meski ancaman pidana berat, diversi tetap diupayakan dengan melibatkan BNPT dan lembaga deradikalisasi.
Keterkaitan dengan Regulasi Lain
- UU No. 35/2014 tentang Perlindungan Anak
Memperkuat hak anak untuk hidup tanpa diskriminasi, termasuk dalam proses hukum. - PP No. 65/2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi
Mengatur teknis pelaksanaan diversi, termasuk peran LPSK dan Lembaga Kemasyarakatan. - Permenkumham No. 12/2022
Menyederhanakan persyaratan pembebasan bersyarat bagi anak yang menjalani pidana.
Rekomendasi Strategis
- Peningkatan Kapasitas Aparat
Pelatihan teknis bagi polisi, jaksa, dan hakim tentang pendekatan anak sesuai UU SPPA. - Penguatan Lembaga Masyarakat
Optimalisasi peran Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dalam pendampingan ABH. - Integrasi Data ABH
Membangun sistem database terpadu antara Bapas, KPAI, dan Kementerian PPPA untuk memantau perkembangan anak pasca-diversi.
UU No. 11/2012 merupakan lompatan besar dalam perlindungan hak anak Indonesia. Namun, efektivitasnya sangat bergantung pada komitmen multisektoral dan kesadaran masyarakat bahwa anak pelaku kejahatan adalah korban dari lingkungan yang gagal melindunginya.