Analisis Terhadap UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
Berikut konteks historis dan informasi tambahan yang perlu diketahui terkait UU ini:
1. Konteks Reformasi Pasca-1998
UU No. 17/2003 lahir dalam era reformasi pasca-Orde Baru, di mana tata kelola keuangan negara dinilai tidak transparan dan rentan korupsi. Krisis moneter 1997–1998 memperlihatkan kelemahan sistem pengelolaan keuangan, seperti:
- Dominasi eksekutif dalam penganggaran tanpa kontrol legislatif yang memadai.
- Tumpang tindih regulasi warisan kolonial (misal: ICW 1925) yang tidak sesuai dengan prinsip demokrasi modern.
UU ini menjadi fondasi untuk membangun sistem keuangan negara yang akuntabel, sesuai amanat reformasi dan tuntutan masyarakat terhadap good governance.
2. Penggantian Regulasi Kolonial
UU No. 17/2003 secara resmi mencabut tiga regulasi warisan Belanda:
- Indische Comptabiliteitswet (ICW) 1925: Mengatur pertanggungjawaban keuangan Hindia Belanda, tetapi tidak mengakomodasi prinsip partisipasi publik dan checks and balances.
- Indische Bedrijvenwet (IBW) 1927: Mengatur pengelolaan perusahaan negara kolonial.
- Reglement voor het Administratief Beheer (RAB) 1933: Mengatur administrasi keuangan pemerintah kolonial.
Pencabutan ini menandai peralihan dari sistem sentralistik-kolonial ke sistem yang demokratis dan sesuai UUD 1945 hasil amandemen.
3. Respons terhadap Amandemen UUD 1945
UU ini merupakan implementasi dari Pasal 23C UUD 1945 (Perubahan Keempat, 2002) yang mewajibkan pengaturan lebih lanjut tentang keuangan negara melalui undang-undang. Beberapa prinsip konstitusional yang diadopsi:
- APBN/APBD sebagai instrumen kedaulatan rakyat (Pasal 23 ayat 1 UUD 1945).
- Pemisahan kewenangan: Presiden sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan (Pasal 23 ayat 2), DPR sebagai pemegang kekuasaan anggaran (Pasal 20A ayat 2), dan BPK sebagai auditor independen (Pasal 23E).
4. Inovasi dalam Pengelolaan Keuangan
UU No. 17/2003 memperkenalkan sejumlah terobosan:
- Prinsip anggaran berbasis kinerja (performance-based budgeting).
- Mekanisme transfer ke daerah yang lebih terstruktur (Dana Alokasi Umum/Khusus).
- Sanksi pidana dan administratif bagi pejabat yang melanggar (Pasal 34–40), termasuk ancaman hukuman penjara hingga 20 tahun dan denda hingga Rp1 miliar untuk penyalahgunaan anggaran.
- Transparansi laporan keuangan yang wajib diaudit BPK (Pasal 30–33).
5. Dampak terhadap Otonomi Daerah
UU ini memperkuat UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah (diganti UU No. 23/2014) dengan:
- Mengatur hubungan keuangan pusat-daerah secara jelas (Bab V).
- Menetapkan batasan kewenangan daerah dalam pengelolaan BUMD dan kerja sama dengan swasta/asing (Bab VI).
- Mencegah praktik "uang siluman" atau anggaran tidak resmi di daerah melalui mekanisme APBD yang terstandardisasi.
6. Tantangan Implementasi
Meski progresif, UU ini menghadapi kendala:
- Kompleksitas koordinasi antara kementerian/lembaga.
- Kapasitas SDM pemda yang belum merata dalam mengelola APBD.
- Tumpang tindih dengan UU No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara yang mengatur teknis pelaksanaan.
Kesimpulan:
UU No. 17/2003 adalah produk hukum krusial yang mengubah paradigma pengelolaan keuangan negara dari sistem tertutup kolonial ke sistem demokratis. Meski telah direvisi sebagian (misal: melalui UU Tapera), prinsip dasarnya tetap relevan sebagai pilar akuntabilitas fiskal Indonesia.