Analisis UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan: Konteks Historis & Informasi Tambahan
Berikut analisis mendalam sebagai dasar pemahaman atas UU No. 18/2004 beserta konteks yang perlu diketahui:
1. Latar Belakang Politik-Ekonomi
- Era Reformasi & Desentralisasi: UU ini lahir pasca-reformasi (1998), di mana terjadi pergeseran paradigma dari sentralisasi Orde Baru ke otonomi daerah (UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah). Hal ini tercermin dalam pembagian kewenangan pengawasan perkebunan antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota.
- Revisi UU Kolonial: UU ini menggantikan UU No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan dan Perkebunan yang berorientasi pada eksploitasi sumber daya untuk investasi asing. UU 1967 dinilai tidak lagi sesuai dengan prinsip keberlanjutan dan keadilan agraria pasca-reformasi.
2. Isu Krusial yang Melatarbelakangi
- Konflik Lahan: Maraknya sengketa tanah antara masyarakat adat, petani kecil, dan perusahaan perkebunan skala besar (terutama sawit dan karet) mendorong perlunya pengaturan ulang hak dan kewajiban pemegang Hak Guna Usaha (HGU).
- Tekanan Global: Kritik internasional terhadap deforestasi dan praktik land grabbing di sektor perkebunan Indonesia memaksa pemerintah memperkuat aspek lingkungan dan tata kelola dalam UU ini.
3. Poin Inovatif dalam UU No. 18/2004
- Keseimbangan Ekonomi-Lingkungan: Memasukkan prinsip keberlanjutan ekologis (Pasal 2) sebagai asas penyelenggaraan perkebunan, yang sebelumnya absen dalam UU 1967.
- Pemberdayaan Petani: Pengakuan terhadap perkebunan rakyat (Pasal 46-47) sebagai bagian integral sistem perkebunan nasional, termasuk skema kemitraan dengan perusahaan besar.
- Sanksi Administratif & Pidana: Pengaturan sanksi tegas bagi pelanggaran izin usaha (Pasal 47-50), seperti pencabutan HGU dan denda hingga 10 miliar rupiah.
4. Uji Materiil MK (Putusan No. 55/PUU-VIII/2010)
Mahkamah Konstitusi (MK) menguji Pasal 21 dan 47 terkait penguasaan lahan oleh perusahaan. MK menegaskan:
- Hak Masyarakat Adat: Penggunaan tanah untuk perkebunan harus memperhatikan hak ulayat dan kepemilikan tradisional.
- Batasan Luas Lahan: MK menolak permohonan judicial review, sehingga ketentuan luas maksimal HGU (20.000 ha untuk perusahaan) tetap berlaku.
5. Tantangan Implementasi
- Tumpang Tindih Regulasi: Koordinasi lemah antara UU ini dengan UU Kehutanan (No. 41/1999) menyebabkan konflik kewenangan pengelolaan kawasan hutan untuk perkebunan.
- Lemahnya Pengawasan: Minimnya kapasitas SDM pemerintah daerah dalam mengawasi praktik illegal planting dan pelanggaran HGU.
6. Regulasi Turunan & Perkembangan Terkini
- UU ini dijabarkan dalam PP No. 18/2010 tentang Usaha Budidaya dan Pengolahan Hasil Perkebunan serta PP No. 24/2015 tentang Penanaman Modal di Bidang Usaha Perkebunan.
- Pada 2020, UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja merevisi beberapa ketentuan UU Perkebunan, terutama terkait penyederhanaan perizinan dan insentif investasi.
Catatan Penting
- Status "Tidak Berlaku": UU No. 18/2004 secara resmi dicabut dan digantikan oleh UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan yang lebih menekankan pada perlindungan petani kecil dan penegakan sertifikasi berkelanjutan (ISPO).
- Dampak Global: UU ini menjadi dasar hukum Indonesia dalam merespons tekanan Uni Eropa terkait Deforestation-Free Regulation (EUDR) untuk ekspor komoditas perkebunan.
Kesimpulan: UU No. 18/2004 mencerminkan upaya transparansi dan reformasi tata kelola perkebunan pasca-Orde Baru, meski masih menyisakan tantangan implementasi, terutama dalam harmonisasi hak masyarakat dan investasi.