Undang-undang (UU) Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Status: Berlaku

Konteks dari Meridian

Generated by Meridian AI

Analisis UU No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua UU KPK
Berikut konteks historis dan informasi tambahan yang penting untuk memahami UU ini:


1. Konteks Historis

  • Latar Belakang Pembentukan KPK (2002):
    KPK didirikan melalui UU No. 30 Tahun 2002 sebagai respons atas krisis korupsi sistemik pasca-Reformasi 1998. KPK dirancang sebagai lembaga superbody yang independen, dengan kewenangan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang kuat untuk memberantas korupsi kelas kakap.

  • Perubahan Pertama (UU No. 46 Tahun 2009):
    Memperkuat kewenangan KPK dalam aset recovery dan kerja sama internasional. Namun, UU No. 19/2019 justru dianggap oleh banyak pihak sebagai "pelemahan struktural" terhadap KPK, terutama terkait independensi dan kewenangan operasional.


2. Poin Kontroversial dalam UU No. 19/2019

  • Pergeseran Status Kelembagaan:
    KPK yang semula disebut sebagai "lembaga negara independen" (UU No. 30/2002) dialihkan menjadi bagian dari eksekutif (Pasal 1). Hal ini memicu kekhawatiran intervensi politik, terutama melalui Dewan Pengawas yang diangkat oleh Presiden.

  • Pembentukan Dewan Pengawas:
    Dewan Pengawas berwenang mengawasi operasional KPK, termasuk persetujuan penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan (Pasal 37A). Kritikus menilai ini memperlambat proses investigasi dan membuka celah kebocoran informasi.

  • Perubahan Status Pegawai KPK:
    Pegawai KPK beralih dari status Pejabat Negara dengan Perlindungan Khusus menjadi ASN biasa (Pasal 1A). Hal ini dianggap mengurangi imunitas fungsional dan meningkatkan kerentanan terhadap tekanan eksternal.

  • Mekanisme Pemberhentian Pimpinan KPK:
    Pimpinan KPK dapat diberhentikan melalui rapat pleno Dewan Pengawas dan keputusan Presiden (Pasal 32A), tanpa melalui proses peradilan. Ini dianggap bertentangan dengan prinsip due process.


3. Respons Publik dan Dampak

  • Aksi Massa & Gerakan #GejayanMemanggil (2019):
    Pengesahan UU ini memicu protes besar-besaran di berbagai kota, terutama dari kalangan mahasiswa dan aktivis anti-korupsi. Aksi ini menuntut pembatalan UU karena dianggap melemahkan KPK.

  • Penurunan Kinerja KPK:
    Data Indonesian Corruption Watch (ICW) mencatat penurunan signifikan dalam jumlah kasus korupsi yang ditangani KPK pasca-2019. Pada 2023, hanya 44 kasus baru yang ditangani, turun dari rata-rata 80 kasus/tahun sebelumnya.

  • Putusan MK (2021):
    Mahkamah Konstitusi menolak permohonan judicial review atas UU ini, tetapi menggarisbawahi bahwa Dewan Pengawas tidak boleh menghambat independensi KPK. Namun, implementasinya masih dipersoalkan.


4. Argumen Pemerintah

Pemerintah beralasan bahwa UU No. 19/2019 bertujuan:

  • Memastikan akuntabilitas KPK melalui mekanisme checks and balances (Dewan Pengawas).
  • Menyelaraskan KPK dengan sistem hukum nasional (misalnya: integrasi ASN).
  • Meningkatkan sinergi dengan Kepolisian dan Kejaksaan (Pasal 43A).

5. Rekomendasi untuk Klien

  • Vigilansi terhadap Dewan Pengawas:
    Pastikan Dewan Pengawas bekerja sesuai mandat UU dan tidak menghambat proses hukum.
  • Advokasi Perubahan UU:
    Dorong revisi melalui judicial review atau legislative review untuk mengembalikan independensi KPK.
  • Pemanfaatan Mekanisme Pelaporan:
    Manfaatkan sistem Whistleblower dan Perlindungan Saksi (Pasal 11A) untuk melaporkan dugaan korupsi.

Catatan Penting:
UU No. 19/2019 merefleksikan tarik-menarik antara kepentingan politik dan agenda pemberantasan korupsi. Klien perlu mempertimbangkan implikasi hukumnya dalam transaksi bisnis, terutama terkait risiko korupsi dan tata kelola perusahaan (corporate governance).

Meridian AI bisa salah. Cek konten penting.

Materi Pokok Peraturan

Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Asas Komisi Pemberantasan Korupsi : a. Kepastian hukum; b. Keterbukaan; c. Akuntabilitas; d. Kepentingan Umum; e. Proporsionalitas; f. Penghormatan terhadap hak asasi manusia. Tugas, wewenang, kewajiban Komisi Pemberantasan Korupsi. Persyaratan Pimpinan KPK, Pemberhentian Pimpinan KPK. Dewan Pengawas KPK: tugas, syarat untuk diangkat sebagai Dewan Pengawas, pengangkatan dan penetapan sebagai Dewan Pengawas, pemberhentian Ketua dan Anggota Dewan Pengawas. Penyidik KPK: persyaratan, pemberhentian.

Subjek

TINDAK PIDANA KORUPSI, PENCEGAHAN KORUPSI - DASAR PEMBENTUKAN KEMENTERIAN / LEMBAGA / BADAN / ORGANISASI

Metadata

TentangPerubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Tipe DokumenPeraturan Perundang-undangan
Nomor19
BentukUndang-undang (UU)
Bentuk SingkatUU
Tahun2019
Tempat PenetapanJakarta
Tanggal Pengundangan17 Oktober 2019
Tanggal Berlaku17 Oktober 2019
SumberLN.2019/NO.197, TLN NO.6409, PERATURAN.GO.ID : 32 HLM.
BahasaBahasa Indonesia
LokasiPemerintah Pusat

Status Peraturan

Mengubah

  1. UU No. 10 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015
  2. UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Uji Materi

PUTUSAN Nomor PUTUSAN Nomor 70/PUU-XVII/2019

Amar Putusan: Dalam Pengujian Formil: Menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya; Dalam Pengujian Materiil: 1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian; 2. Menyatakan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 197, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6409) yang semula berbunyi “Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang melaksanakan tugas pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sesuai dengan 348 Undang-Undang ini”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam melaksanakan tugas pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun”. 3. Menyatakan Pasal 12B, Pasal 37B ayat (1) huruf b, dan Pasal 47 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 197, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6409) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; 4. Menyatakan frasa “dipertanggungjawabkan kepada Dewan Pengawas” dalam Pasal 12C ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 197, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6409) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “diberitahukan kepada Dewan Pengawas”. Sehingga, Pasal 12C ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 197, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6409) yang semula berbunyi “Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) yang telah selesai dilaksanakan harus dipertanggungjawabkan kepada Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dan Dewan Pengawas paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak Penyadapan selesai dilaksanakan”, menjadi selengkapnya berbunyi “Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) yang telah 349 selesai dilaksanakan harus dipertanggungjawabkan kepada Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dan diberitahukan kepada Dewan Pengawas paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak Penyadapan selesai dilaksanakan”. 5. Menyatakan frasa “tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun” dalam Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 197, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6409) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak diterbitkannya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP)”. Sehingga, Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 197, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6409) yang semula berbunyi “Komisi Pemberantasan Korupsi dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara Tindak Pidana Korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun”, menjadi selengkapnya berbunyi “Komisi Pemberantasan Korupsi dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara Tindak Pidana Korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak diterbitkannya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP).” 6. Menyatakan frasa “harus dilaporkan kepada Dewan Pengawas paling lambat 1 (satu) minggu” dalam Pasal 40 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 197, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6409) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara 350 Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “diberitahukan kepada Dewan Pengawas paling lambat 14 (empat belas) hari kerja”. Sehingga, Pasal 40 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 197, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6409) yang semula berbunyi “Penghentian penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaporkan kepada Dewan Pengawas paling lambat 1 (satu) minggu terhitung sejak dikeluarkannya surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan”, menjadi selengkapnya berbunyi “Penghentian penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan kepada Dewan Pengawas paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak dikeluarkannya surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan”. 7. Menyatakan frasa “atas izin tertulis dari Dewan Pengawas” dalam Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 197, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6409) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “dengan memberitahukan kepada Dewan Pengawas”. Sehingga, Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 197, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6409) yang semula berbunyi, “Dalam proses penyidikan, penyidik dapat melakukan penggeledahan dan penyitaan atas izin tertulis dari Dewan Pengawas”, menjadi selengkapnya berbunyi “Dalam proses penyidikan, penyidik dapat melakukan penggeledahan dan penyitaan dengan memberitahukan kepada Dewan Pengawas.” 351 8. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. 9. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya;

Network Peraturan

Loading network graph...

Dokumen