Analisis Mendalam Terhadap UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
Konteks Historis
-
Latar Belakang Pembentukan OJK
- Sebelum 2011, pengawasan sektor jasa keuangan di Indonesia terfragmentasi:
- Bank Indonesia (BI) mengawasi perbankan.
- Bapepam-LK (Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan) mengawasi pasar modal dan lembaga keuangan non-bank.
- Krisis finansial 1998 dan 2008 menyoroti kelemahan sistem pengawasan terpisah, terutama risiko regulatory gap dan koordinasi yang lemah.
- OJK dibentuk sebagai respons untuk menciptakan pengawasan terintegrasi (integrated financial supervision) guna meningkatkan stabilitas sistem keuangan dan perlindungan konsumen.
- Sebelum 2011, pengawasan sektor jasa keuangan di Indonesia terfragmentasi:
-
Reformasi Pasca-Krisis
- OJK menjadi bagian dari agenda reformasi keuangan global pasca-2008, di mana banyak negara membentuk lembaga pengawas independen (contoh: Financial Services Authority di Inggris).
- Diinisiasi sejak RUU disahkan pada 2011 di bawah pemerintahan Presiden SBY, OJK resmi beroperasi pada 31 Desember 2012.
Perubahan Signifikan Pasca-Amendemen UU No. 9 Tahun 2016
Beberapa pasal dalam UU No. 21/2011 dicabut/diubah melalui UU No. 9/2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK):
- Pasal 1 angka 25 (definisi "krisis sistem keuangan") dan Pasal 44-46 (kewenangan OJK dalam kondisi krisis) dicabut karena dianggap tumpang tindih dengan kewenangan BI dan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).
- Pasal 69 ayat (3) (sanksi administratif) direvisi untuk memperjelas mekanisme penegakan hukum.
- Perubahan ini mempertegas pembagian peran: OJK fokus pada pengawasan mikroprudensial, BI pada makroprudensial, dan KSSK sebagai koordinator penanganan krisis.
Implikasi Strategis bagi Pelaku Usaha
-
Kepatuhan dan Regulasi
- OJK memiliki kewenangan penuh untuk menerbitkan peraturan, mengeluarkan izin, dan melakukan pengawasan terhadap seluruh lembaga jasa keuangan (bank, pasar modal, asuransi, dana pensiun, dll.).
- Pelaku usaha wajih mematuhi standar tata kelola, transparansi, dan manajemen risiko yang lebih ketat.
-
Perlindungan Konsumen
- OJK mengatur mekanisme pengaduan konsumen (POJK No. 1/2013) dan mewajibkan lembaga keuangan menyediakan sistem penanganan keluhan.
- Pelanggaran dapat berujung pada sanksi administratif (denda, pencabutan izin) atau pidana.
-
Inovasi Fintech
- OJK mengeluarkan regulatory sandbox untuk mengakomodasi perkembangan fintech (POJK No. 13/2018), tetapi tetap mengutamakan prinsip kehati-hatian.
Tantangan dan Kritik
- Koordinasi dengan BI dan Kemenkeu: Ada potensi konflik kewenangan, terutama dalam penanganan krisis likuiditas.
- Independensi vs Akuntabilitas: OJK dianggap terlalu kuat secara struktural, tetapi kurangnya mekanisme checks and balances dari DPR/eksekutif menuai kritik.
- Kompleksitas Regulasi: Pelaku usaha kecil kerap kewalahan mematuhi regulasi OJK yang dinamis.
Rekomendasi untuk Klien
- Lakukan Due Diligence Regulasi: Pastikan kepatuhan terhadap seluruh POJK terkait tata kelola, AML-CFT, dan perlindungan konsumen.
- Manajemen Risiko Reputasi: Siapkan sistem pengaduan internal yang responsif untuk menghindari sanksi OJK.
- Antisipasi Perubahan Regulasi: Pantau perkembangan RUU Perlindungan Data Pribadi dan RUU Penguatan OJK yang dapat memengaruhi sektor jasa keuangan.
Catatan: OJK merupakan game-changer dalam sistem keuangan Indonesia, tetapi efektivitasnya sangat bergantung pada koordinasi antarlembaga dan kesiapan pelaku usaha beradaptasi.