Undang-undang (UU) Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum

Status: Tidak Berlaku

Ringkasan Peraturan

Generated by Meridian AI

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum mengatur struktur dan prosedur penyelenggaraan pemilu di Indonesia. UU ini menetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai lembaga penyelenggara pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri dengan wilayah kerja seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. KPU terdiri atas ketua beserta enam anggota yang dipilih dengan prosedur seleksi yang transparan. KPU bertanggung jawab mengatur seluruh tahapan pemilu anggota DPR, DPD, DPRD, presiden-wakil presiden, dan kepala daerah, termasuk pemutakhiran data pemilih, penetapan peserta, kampanye, pemungutan suara, dan rekapitulasi hasil penghitungan suara. Selain itu, UU ini juga mengatur Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Panitia Pengawas (Panwaslu) di tingkat provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, serta Pengawas Lapangan dan Pengawas Luar Negeri untuk mengawasi proses penyelenggaraan pemilu secara independen dan profesional. Peraturan ini juga menetapkan kode etik dan dewan kehormatan sebagai mekanisme pengawasan internal terhadap integritas penyelenggara pemilu, serta mengatur tata cara pengangkatan, pemberhentian, dan pertanggungjawaban anggota KPU dan Bawaslu.

Meridian AI bisa salah. Cek konten penting.

Konteks dari Meridian

Generated by Meridian AI

Analisis Hukum Terkait UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum

Konteks Historis

  1. Era Reformasi dan Transisi Demokrasi
    UU ini lahir dalam fase konsolidasi demokrasi pasca-Reformasi 1998, di mana Pemilu langsung menjadi instrumen krusial untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang transparan dan akuntabel. Sebelumnya, penyelenggaraan Pemilu dianggap belum sepenuhnya independen, terutama karena KPU (Komisi Pemilihan Umum) periode 1999–2001 masih melibatkan perwakilan partai politik, yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.

  2. Evaluasi Pemilu 2004
    Pemilu 2004 (legislatif dan presiden langsung pertama) mengekspos kelemahan struktural, seperti kompleksitas logistik, lambatnya penghitungan suara, dan isu kecurangan. Hal ini memicu desakan reformasi hukum untuk memperkuat kelembagaan penyelenggara Pemilu yang profesional dan independen.

  3. Amandemen UUD 1945
    Pasal 22E UUD 1945 hasil amandemen keempat (2002) mengamanatkan Pemilu yang diselenggarakan oleh lembaga independen. UU No. 22/2007 menjadi turunan konkret dari mandat konstitusi ini.


Perubahan Paradigma dalam UU No. 22/2007

  1. Independensi KPU dan Bawaslu

    • KPU dan Bawaslu ditetapkan sebagai lembaga negara tetap (bukan ad-hoc), dengan syarat keanggotaan yang ketat (misal: dilarang menjadi anggota partai politik).
    • Mekanisme seleksi anggota KPU melibatkan partisipasi publik dan DPR, meskipun kritik muncul terkait potensi intervensi politik dalam proses fit and proper test.
  2. Penguatan Sistem Pengawasan
    Bawaslu (awalnya Panwaslu di UU No. 12/2003) ditingkatkan statusnya menjadi lembaga permanen dengan kewenangan mengawasi seluruh tahapan Pemilu, termasuk menerima laporan pelanggaran dan menindaklanjuti sengketa.

  3. Harmonisasi dengan Daerah Khusus
    UU ini mengakui kekhususan Aceh dan Papua dengan menyatakan ketentuannya berlaku sepanjang tidak diatur lain dalam undang-undang khusus (misal: UU PA Papua atau UU Pemerintahan Aceh).


Tantangan dan Kontroversi

  1. Uji Materiil Mahkamah Konstitusi (MK)
    Pada 2010, MK mengeluarkan Putusan No. 11/PUU-VIII/2010 yang menegaskan bahwa KPU berwenang penuh menetapkan hasil Pemilu, termasuk mengoreksi kesalahan penghitungan. Putusan ini memperkuat posisi KPU sebagai lembaga final dalam teknis penyelenggaraan Pemilu.

  2. Dinamika Politik Pasca-2007

    • UU ini dianggap belum cukup mengantisipasi kompleksitas Pemilu serentak (legislatif, presiden, dan daerah) yang mulai diterapkan pada 2019, sehingga perlu revisi melalui UU No. 7/2017.
    • Isu over-regulasi dan tumpang tindih kewenangan antara KPU, Bawaslu, dan DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu) kerap memicu inefisiensi.

Warisan Hukum

UU No. 22/2007 menjadi fondasi bagi sistem Pemilu modern Indonesia, dengan beberapa prinsip kunci yang dipertahankan dalam UU No. 7/2017, seperti:

  • Asas LUBER-JURDIL (Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur, Adil).
  • Mekanisme pengawasan multi-level (Bawaslu, Panwaslu Provinsi/Kabupaten/Kecamatan, hingga Pengawas TPS).
  • Perlindungan hukum bagi penyelenggara Pemilu dalam menjalankan tugas.

Catatan Kritis

Meski progresif, UU ini belum sepenuhnya menghilangkan intervensi politik, terutama dalam proses seleksi anggota KPU yang masih melibatkan DPR. Selain itu, minimnya sanksi pidana bagi pelanggaran Pemilu oleh penyelenggara menjadi celah yang perlu diperbaiki.

Sebagai advokat, penting untuk memahami bahwa UU No. 22/2007 adalah produk kompromi politik era transisi, sehingga penerapannya harus dikaitkan dengan perkembangan hukum Pemilu terkini dan putusan-putusan MK yang mereinterpretasi pasal-pasal krusial.

Meridian AI bisa salah. Cek konten penting.

Materi Pokok Peraturan

Dalam UU ini diatur penyelengara pemilu, asas pemilu, dan mekanisme kerja penyelengara pemilu. Ketentuan dalam Undang-Undang ini berlaku juga bagi penyelenggara Pemilu di provinsi yang bersifat khusus atau bersifat istimewa sepanjang tidak diatur lain dalam undang-undang tersendiri.

Metadata

TentangPenyelenggara Pemilihan Umum
Tipe DokumenPeraturan Perundang-undangan
Nomor22
BentukUndang-undang (UU)
Bentuk SingkatUU
Tahun2007
Tempat PenetapanJakarta
Tanggal Penetapan19 April 2007
Tanggal Pengundangan19 April 2007
Tanggal Berlaku19 April 2007
SumberLN.2007/NO.59, TLN NO.4721, LL SETNEG : 104 HLM
SubjekPARTAI POLITIK DAN PEMILU
BahasaBahasa Indonesia
LokasiPemerintah Pusat

Status Peraturan

Dicabut Dengan

  1. UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum

Mencabut

  1. UU No. 10 Tahun 2006 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006

Uji Materi

PUTUSAN Nomor 11/PUU-VIII/2010

Kata, “Calon”, dan frasa, “... diusulkan oleh KPU Provinsi kepada Bawaslu sebanyak 6 (enam) orang untuk selanjutnya ....” dalam Pasal 93; kata, “Calon” serta frasa “... diusulkan oleh KPU Kabupaten/Kota kepada Panwaslu Provinsi sebanyak 6 (enam) orang untuk selanjutnya ....” dalam Pasal 94 ayat (1) dan ayat (2); kata, “Calon” dan frasa, “... diusulkan oleh KPU Kabupaten/Kota kepada Panwaslu Kabupaten/Kota sebanyak 6 (enam) orang untuk selanjutnya ....” dalam Pasal 95 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Network Peraturan

Loading network graph...

Dokumen