Berikut analisis mendalam mengenai UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta beserta konteks historis dan informasi tambahan yang relevan:
Konteks Historis
-
Penggantian UU Hak Cipta Sebelumnya
UU ini menggantikan UU No. 19 Tahun 2002 yang dinilai sudah tidak sesuai dengan perkembangan teknologi digital, dinamika ekonomi kreatif global, dan kewajiban Indonesia sebagai anggota WTO-TRIPS (1994) serta WIPO Copyright Treaty (1997). Perubahan ini juga merespons maraknya pembajakan dan pelanggaran hak cipta di era digital. -
Harmonisasi dengan Standar Internasional
Masa perlindungan hak cipta hidup pencipta + 70 tahun mengadopsi Konvensi Bern 1971 yang diratifikasi Indonesia melalui Keppres No. 18/1997. Ini memperkuat posisi Indonesia dalam perdagangan internasional, terutama setelah ratifikasi Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-EU (CEPA) yang mensyaratkan perlindungan HKI yang kuat. -
Dampak Ekonomi Kreatif
UU ini lahir saat kontribusi sektor ekonomi kreatif Indonesia mencapai 7,4% PDB (2014). Perlindungan hak ekonomi yang lebih ketat, termasuk pembatasan "jual putus" (sold flat), ditujukan untuk mencegah eksploitasi kreator oleh korporasi.
Inovasi Penting yang Perlu Diketahui
-
Digitalisasi dan Multimedia
UU ini mengakui penggunaan hak cipta di ranah multimedia (Pasal 23-25), termasuk respons atas maraknya platform streaming dan distribusi konten digital. Hal ini menjadi dasar penuntutan kasus pembajakan software dan konten digital di Indonesia. -
Fidusia Hak Cipta
Hak cipta dapat dijadikan jaminan fidusia (Pasal 16), mengacu pada UU No. 42/1999 tentang Jaminan Fidusia. Ini memungkinkan kreator mengakses pembiayaan tanpa kehilangan kepemilikan, meskipun dalam praktiknya masih terbatas karena penilaian nilai ekonomi hak cipta yang subjektif. -
Lembaga Manajemen Kolektif (LMK)
Kewajiban LMK memiliki izin operasional (Pasal 88) dimaksudkan untuk memastikan transparansi distribusi royalti. Namun, hingga kini masih terjadi tumpang tindih kewenangan LMK, seperti kasus WAMI (Yayasan Karya Cipta Indonesia) vs LMKN untuk royalti musik. -
Delik Aduan
Penegakan hukum pidana hanya dilakukan berdasarkan pengaduan pemegang hak (Pasal 101), yang sering menjadi kendala karena minimnya kesadaran pelapor, terutama di kasus pembajakan karya anonim atau open source.
Tantangan Implementasi
-
Regulasi Turunan yang Belum Komprehensif
Sebagian ketentuan (misalnya royalti untuk hubungan dinas) masih menunggu Peraturan Pemerintah. Hingga 2023, PP No. 56/2021 tentang LMK baru mengatur sebagian kecil aspek operasional. -
Konflik dengan Kebebasan Berekspresi
Kewenangan Menteri menghapus ciptaan yang "melanggar norma" (Pasal 73) menuai kritik karena berpotensi disalahgunakan untuk pembatasan kreativitas, seperti kasus pelarangan buku atau musik kontroversial. -
Proteksi Ekspresi Budaya Tradisional
Meski diatur dalam Pasal 38, perlindungan folklore masih lemah. Contoh kasus: klaim Malaysia atas batik dan rendang menunjukkan perlunya mekanisme pendaftaran yang lebih efektif.
Relevansi di Era Konten Digital (2020-an)
-
NFT dan Kripto
UU ini menjadi dasar hukum sengketa kepemilikan NFT (Non-Fungible Token) karya seni digital, meski belum ada penyesuaian spesifik untuk blockchain. -
Platform Digital
Kewajiban pengelola pusat perbelanjaan (Pasal 10) kini diterapkan pada marketplace digital (e.g., Tokopedia, Shopee) untuk memantau pelanggaran hak cipta produk digital. -
AI dan Hak Cipta
Ketiadaan aturan spesifik untuk karya berbasis AI (misalnya gambar Stable Diffusion) menimbulkan kekosongan hukum, meski Pasal 1 angka 3 UU ini mensyaratkan "kreativitas manusia" sebagai subjek hak cipta.
Rekomendasi Strategis
- Revisi PP Pendukung: Percepat penerbitan PP turunan untuk mengakomodasi perkembangan teknologi seperti AI dan blockchain.
- Edukasi Kreator: Sosialisasi hak ekonomi melalui LMK untuk meningkatkan partisipasi kreator lokal.
- Penegakan Progresif: Optimalisasi mekanisme notice and takedown di platform digital untuk efisiensi penanganan pelanggaran.
UU No. 28/2014 merupakan lompatan signifikan dalam perlindungan HKI, tetapi perlu adaptasi berkelanjutan untuk menjawab kompleksitas era digital.