Undang-undang (UU) Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban

Status: Berlaku

Konteks dari Meridian

Generated by Meridian AI

Analisis Mendalam terhadap UU No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan UU Perlindungan Saksi dan Korban

Konteks Historis

  1. Latar Belakang Pembentukan UU No. 13/2006:
    Sebelum 2006, Indonesia tidak memiliki payung hukum khusus untuk perlindungan saksi dan korban. UU No. 13/2006 lahir sebagai respons atas tuntutan reformasi hukum pasca-Reformasi 1998, terutama untuk kasus korupsi, pelanggaran HAM berat (seperti Trisakti dan Semanggi I-II), serta konflik sosial. LPSK dibentuk sebagai lembaga independen, tetapi dalam praktiknya menghadapi kendala struktural dan kewenangan terbatas.

  2. Pemicu Perubahan pada 2014:

    • Tantangan Transnasional: Maraknya kejahatan terorganisasi lintas negara (seperti narkotika, perdagangan orang) yang memerlukan perlindungan lebih luas, termasuk untuk pelaku yang bersedia menjadi saksi (justice collaborator).
    • Lemahnya Koordinasi Antarlembaga: LPSK sering terkendala koordinasi dengan kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan, menyebabkan lambatnya penanganan kasus.
    • Putusan MK Tahun 2011: Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 34/PUU-VIII/2010 menegaskan perluasan definisi "saksi" termasuk pelapor (whistleblower) dan ahli, yang belum diakomodasi UU No. 13/2006.

Poin Krusial Perubahan

  1. Penguatan Kelembagaan LPSK

    • Sekretariat LPSK ditingkatkan menjadi Sekretariat Jenderal, memberikan kapasitas anggaran dan SDM yang lebih besar.
    • Pembentukan Dewan Penasihat (Pasal 18A) bertujuan meningkatkan akuntabilitas dan kualitas kebijakan LPSK melalui masukan ahli.
  2. Perluasan Subjek Perlindungan

    • Tidak hanya saksi dan korban, tetapi juga pelapor, justice collaborator (pelaku yang bersaksi), dan ahli (Pasal 1 angka 1-5). Ini sejalan dengan praktik internasional (plea bargaining) untuk mengungkap kejahatan kompleks.
  3. Perlindungan untuk Korporasi

    • LPSK berwenang melindungi korban kejahatan yang dilakukan korporasi (misalnya kasus lingkungan atau korupsi korporasi). Ini respons atas tren global seperti UNCAC (Konvensi PBB Anti-Korupsi).
  4. Mekanisme Penghargaan bagi Pelaku

    • Pasal 5A mengatur pemberian insentif (seperti pengurangan hukuman) bagi pelaku yang menjadi saksi. Hal ini kontroversial tetapi dinilai penting untuk membongkar jaringan kejahatan terstruktur.
  5. Sanksi Pidana yang Dipertegas

    • Ancaman hukuman bagi pihak yang mengancam saksi/korban dinaikkan hingga 7 tahun penjara (Pasal 43). Korporasi yang menghalangi perlindungan bisa dikenai denda hingga Rp10 miliar (Pasal 43A).

Tantangan Implementasi

  1. Budaya Hukum Masyarakat:

    • Stigma sosial terhadap saksi/korban (misalnya dalam kasus kekerasan seksual) sering menghambat pelaporan.
    • Rendahnya kesadaran masyarakat tentang hak mengakses LPSK.
  2. Overlap Kewenangan:

    • LPSK harus berkoordinasi dengan KPK (untuk kasus korupsi) dan Komnas HAM (untuk pelanggaran HAM), tetapi belum ada MoU yang komprehensif.
  3. Keterbatasan Anggaran:

    • Meski Sekretariat Jenderal diperkuat, alokasi anggaran LPSK dalam APBN masih minim (kurang dari 0,1% anggaran penegakan hukum).

Signifikansi dalam Penegakan Hukum

  • UU ini menjadi basis hukum untuk kasus-kasus strategis, seperti perlindungan saksi dalam kasus korupsi e-KTP dan pembunuhan aktivis Munir.
  • Memperkuat komitmen Indonesia dalam ratifikasi Protokol Palermo (Perdagangan Orang) dan UNCAC.

Rekomendasi:

  • LPSK perlu meningkatkan sosialisasi melalui media dan kolaborasi dengan LSM.
  • Pemerintah harus memperkuat anggaran LPSK dan menyusun Peraturan Pemerintah teknis (seperti PP tentang Tata Cara Pemberian Penghargaan) untuk memastikan implementasi efektif.

UU No. 31/2014 mencerminkan evolusi sistem hukum Indonesia yang adaptif terhadap kompleksitas kejahatan modern, meski tantangan implementasi masih perlu diantisipasi secara serius.

Meridian AI bisa salah. Cek konten penting.

Materi Pokok Peraturan

1. Penguatan kelembagaan LPSK, antara lain peningkatan sekretariat menjadi sekretariat jenderal dan pembentukan dewan penasihat; 2. penguatan kewenangan LPSK; 3. perluasan subjek perlindungan; 4. perluasan pelayanan perlindungan terhadap korban; 5. peningkatan kerja sama dan kordinasi antarlembaga; 6. pemberian penghargaan dan penanganan khusus yang diberikan terhadap saksi pelaku; 7. mekanisme penggantian anggota LPSK antar waktu; 8. perubahan ketentuan pidana, termasuk tindak pidana yang dilakukan oleh korporsi.

Subjek

HAK ASASI MANUSIA - HUKUM ACARA DAN PERADILAN - HUKUM PIDANA, PERDATA, DAN DAGANG - TINDAK PIDANA KORUPSI, PENCEGAHAN KORUPSI

Metadata

TentangPerubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban
Tipe DokumenPeraturan Perundang-undangan
Nomor31
BentukUndang-undang (UU)
Bentuk SingkatUU
Tahun2014
Tempat PenetapanJakarta
Tanggal Penetapan17 Oktober 2014
Tanggal Pengundangan17 Oktober 2014
Tanggal Berlaku17 Oktober 2014
SumberLN.2014/No. 293, TLN No. 5602, LL SETNEG: 25 HLM
BahasaBahasa Indonesia
LokasiPemerintah Pusat

Status Peraturan

Dicabut Sebagian Dengan

  1. UU No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, dan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014

Mengubah

  1. UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban

Network Peraturan

Loading network graph...

Dokumen