Analisis UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Perlindungan Anak
1. Konteks Historis dan Latar Belakang Pembentukan
- Pemicu Legislasi: Amendemen UU No. 23/2002 ini lahir sebagai respons atas maraknya kasus kekerasan terhadap anak di Indonesia, termasuk kasus-kasus viral seperti pembunuhan anak di Bantargebang (2014) dan kekerasan seksual di sekolah. Masyarakat dan aktivis HAM mendesak pemerintah memperkuat perlindungan anak.
- Dukungan Internasional: Indonesia meratifikasi Konvensi Hak Anak (CRC) PBB pada 1990. UU ini selaras dengan rekomendasi Komite CRC PBB (2014) untuk memperkuat sistem perlindungan anak, termasuk sanksi pidana dan rehabilitasi.
- Integrasi dengan UU SPPA No. 11/2012: UU No. 35/2014 menyesuaikan ketentuan rehabilitasi anak pelaku kejahatan dengan Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) yang mengedepankan keadilan restoratif.
2. Poin Krusial yang Perlu Diketahui Publik
- Pemberatan Sanksi:
- Hukuman minimal 10 tahun penjara untuk kekerasan fisik (Pasal 80C) dan 15 tahun untuk kekerasan seksual (Pasal 81).
- Denda hingga 5 miliar rupiah untuk korporasi yang melibatkan anak dalam eksploitasi (Pasal 88B).
- Rehabilitasi Holistik:
- Korban dan pelaku anak wajid mendapatkan pemulihan fisik, psikis, dan sosial melalui program terintegrasi (misalnya, pendampingan psikologis, pendidikan alternatif).
- Lembaga Layak Anak (LLA) diatur sebagai wadah rehabilitasi, meski implementasinya masih terbatas di daerah terpencil.
- Perlindungan Khusus:
- Anak dalam situasi darurat (konflik, bencana), korban narkotika, dan anak penyandang disabilitas mendapat prioritas perlindungan (Pasal 59-71B).
3. Tantangan Implementasi
- Regulasi Turunan: Beberapa ketentuan membutuhkan Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Presiden (Perpres), seperti mekanisme koordinasi lembaga (contoh: PP No. 43/2017 tentang Pelaksanaan Restitusi bagi Anak Korban Tindak Pidana). Namun, belum semua turunan terbit.
- Kesenjangan Kapasitas Daerah: Daerah dengan APBD terbatas kesulitan menyediakan LLA dan tenaga ahli (psikolog, pekerja sosial).
- Stigma Sosial: Korban kekerasan seksual sering dipersalahkan, menghambat pelaporan. Butuh sosialisasi masif melalui sekolah dan media.
4. Perbandingan dengan Yurisdiksi Lain
- Hukuman Lebih Keras di Luar Negeri: Di Singapura, pelecehan seksual terhadap anak bisa dihukum 20 tahun penjara (Children and Young Persons Act). Sementara di Indonesia, ancaman maksimal 15 tahun dianggap belum cukup oleh aktivis.
- Rehabilitasi vs. Hukuman: UU ini masih fokus pada hukuman, sementara negara seperti Selandia Baru lebih mengutamakan rehabilitasi pelaku anak melalui program diversion.
5. Perkembangan Terkini
- Putusan Mahkamah Konstitusi (MK): Pada 2023, MK menolak judicial review untuk menaikkan hukuman maksimal bagi pelaku pedofil, dengan alasan UU No. 35/2014 sudah memadai.
- Data KPAI 2023: Kasus kekerasan anak menurun 12% sejak 2019, tetapi kekerasan siber (seperti cyber grooming) meningkat 25%. UU ini belum mengatur perlindungan anak di ranah digital secara spesifik.
Rekomendasi untuk Klien:
- Advokasi Regulasi Turunan: Dorong percepatan penerbitan PP tentang Perlindungan Khusus Anak di daerah.
- Kolaborasi Lintas Sektor: Libatkan organisasi seperti Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk pendampingan korban.
- Edukasi Masyarakat: Gunakan platform digital untuk kampanye pencegahan kekerasan anak, terutama di daerah urban seperti Jakarta.
UU No. 35/2014 menjadi landasan progresif, namun efektivitasnya bergantung pada komitmen seluruh pemangku kepentingan dan kesadaran masyarakat.