Analisis Terhadap UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi
1. Konteks Historis dan Sosial-Politik
UU Pornografi disahkan pada 26 November 2008 setelah proses legislatif yang panjang dan kontroversial (2006–2008). Pembahasan RUU ini memicu perdebatan nasional antara kelompok yang mengusung nilai moral-religius dengan kelompok yang menekankan kebebasan berekspresi dan keberagaman budaya. Isu ini menjadi sensitif karena Indonesia, sebagai negara multikultural, memiliki ragam tradisi yang kerap dianggap "terbuka" secara visual (misalnya: pakaian adat Bali atau tari tradisional), sehingga dikhawatirkan terancam oleh definisi "pornografi" yang terlalu luas.
2. Polemik Definisi "Pornografi"
- UU ini mendefinisikan pornografi sebagai "materi seksualitas yang dibuat secara eksplisit dengan tujuan mengumbar hasrat seksual" (Pasal 1). Namun, kritikus menilai definisi ini ambigu dan rentan disalahartikan, terutama dalam konteks seni, budaya, atau ekspresi tubuh yang tidak bermuatan eksploitasi seksual.
- Contoh kasus: Protes dari masyarakat Bali (2008) yang menganggap UU ini mengancam budaya mereka, seperti tradisi tari pendet atau pakaian adat.
3. Dampak pada Kebebasan Berekspresi dan Budaya
- Pasal 4 UU melarang konten pornografi, tetapi juga mencakup larangan terhadap "kegiatan yang mempertontonkan aurat atau bagian tubuh intim" di ruang publik. Hal ini menuai kritik karena berpotensi kriminalisasi aktivitas seni atau tradisi lokal.
- Kasus nyata: Pelarangan pertunjukan Reog Ponorogo di beberapa daerah karena kostum penari dianggap "terlalu terbuka".
4. Aspek HAM dan Diskriminasi
- UU ini dianggap oleh aktivis HAM sebagai alat untuk mengontrol tubuh perempuan dan minoritas seksual. Misalnya, aturan tentang "pornografi ringan" (Pasal 4) sering digunakan untuk membatasi pakaian perempuan di ruang publik.
- Beberapa daerah menerapkan Perda Syariah yang lebih ketat dengan merujuk UU ini, seperti larangan perempuan menggunakan celana pendek atau pakaian ketat.
5. Tantangan Penegakan Hukum
- UU Pornografi sering tumpang-tindih dengan UU ITE (No. 11/2008), terutama dalam penanganan konten digital. Penegak hukum kerap kesulitan membedakan antara konten artistik, edukasi kesehatan, dan pornografi murni.
- Sanksi pidana (Pasal 29–37) berupa denda hingga 12 miliar rupiah atau hukuman penjara hingga 15 tahun dinilai tidak proporsional, terutama untuk kasus-kasus remaja yang membagikan konten privat.
6. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK)
Pada 2020, MK menolak uji materiil terhadap UU ini dengan pertimbangan bahwa negara memiliki kewenangan melindungi moral publik. Namun, hakim konstitusi Aswanto memberikan pendapat berbeda (dissenting opinion) yang menyoroti perlunya revisi definisi agar tidak multitafsir.
7. Rekomendasi untuk Klien
- Jika terlibat kasus terkait UU ini, pastikan pembelaan berfokus pada konteks dan maksud dari materi yang dituduhkan sebagai pornografi.
- Manfaatkan ahli budaya atau psikologi untuk memperkuat argumen bahwa materi tersebut tidak bermuatan eksploitasi seksual.
- Waspadai risiko politisasi isu moral dalam proses hukum, terutama di daerah dengan pengaruh kelompok konservatif kuat.
Kesimpulan:
UU Pornografi lahir dari tarik-menarik antara proteksi moralitas dan kebebasan sipil. Meski memiliki tujuan mulia, implementasinya perlu dikritisi agar tidak mengikis hak konstitusional warga negara atau merusak warisan budaya Nusantara.