Berikut analisis mendalam mengenai UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah beserta konteks historis dan informasi tambahan yang relevan:
Konteks Historis
-
Era Orde Baru
UU ini lahir pada masa pemerintahan Presiden Soeharto (1966–1998) yang menekankan stabilitas nasional dan sentralisasi kekuasaan. Tujuannya adalah mengonsolidasi kontrol pusat atas daerah untuk mencegah separatisme dan menguatkan integrasi nasional, terutama pasca-pemberontakan PRRI/Permesta (1958–1961) dan ketegangan regional lainnya. -
Respons atas UU sebelumnya
UU ini menggantikan UU No. 18 Tahun 1965 yang dianggap terlalu "liberal" karena memberikan otonomi luas ke daerah. Orde Baru melihat perluasan otonomi sebagai ancaman bagi stabilitas, sehingga UU No. 5/1974 dirancang untuk memperkuat hierarki pemerintahan terpusat.
Struktur Hierarki Pemerintahan
UU No. 5/1974 membentuk sistem 3 tingkat pemerintahan daerah:
- Provinsi
Gubernur berperan ganda: sebagai kepala daerah dan wakil pemerintah pusat. Penunjukan gubernur harus disetujui oleh Presiden, mencerminkan kontrol ketat Jakarta. - Kabupaten/Kotamadya
Bupati/Wali Kota bertanggung jawab kepada Gubernur, bukan langsung ke masyarakat. - Kecamatan
Camat sebagai perpanjangan tangan birokrasi pusat di tingkat kelurahan.
Catatan Kritis: Sistem ini menciptakan birokrasi vertikal yang kaku, di mana kebijakan daerah harus selaras dengan instruksi pusat.
Kontekstualisasi Politik Orde Baru
- Dominasi Golkar: Kepala daerah seringkali berasal dari kalangan militer atau birokrat yang berafiliasi dengan Golkar, partai penguasa saat itu.
- Militer dalam Pemerintahan: UU ini memperkuat peran ABRI (sekarang TNI) melalui konsep Dwi Fungsi ABRI, di mana personel militer aktif sering menjabat sebagai gubernur/bupati.
- Pembatasan Partisipasi Politik: Keputusan strategis di daerah dikendalikan oleh pusat, meminimalkan peran masyarakat sipil dan oposisi.
Dampak terhadap Otonomi Daerah
- Keuangan Terpusat
Daerah bergantung pada subsidi pusat (INPRES, SPP) tanpa kewenangan fiskal yang memadai. - Pemilihan Kepala Daerah
Kepala daerah tidak dipilih langsung, tetapi melalui DPRD yang dikontrol Golkar, mengurangi akuntabilitas. - Pembatasan Inisiatif Daerah
Daerah tidak memiliki kewenangan substansial untuk mengelola SDA atau mengembangkan kebijakan lokal.
Transisi Pasca-Reformasi 1998
UU No. 5/1974 dicabut oleh UU No. 22 Tahun 1999 sebagai bagian dari desentralisasi radikal pasca-Reformasi. Beberapa perubahan kunci:
- Gubernur/Bupati/Wali Kota dipilih langsung oleh rakyat.
- Kewenangan otonomi luas diberikan ke kabupaten/kota, bukan provinsi.
- Lahirnya konsep Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK).
Kritik terhadap UU No. 5/1974
- Instrumentalisasi Kekuasaan
UU ini menjadi alat untuk mempertahankan status quo politik Orde Baru. - Korupsi Struktural
Sentralisasi memicu praktik KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) melalui proyek-proyek yang harus mendapat persetujuan pusat. - Kesenjangan Pembangunan
Daerah kaya SDA (seperti Riau atau Kalimantan) tidak mendapat manfaat maksimal akibat kontrol pusat.
Warisan yang Masih Bertahan
Meski sudah dicabut, beberapa pola UU No. 5/1974 masih terasa, seperti:
- Mentalitas birokrasi yang terlalu bergantung pada instruksi pusat.
- Resistensi sebagian elit terhadap otonomi daerah penuh.
- Dualisme peran gubernur sebagai wakil pusat vs. kepala daerah.
Penutup
UU No. 5/1974 merefleksikan paradigma Orde Baru yang memprioritaskan stabilitas di atas partisipasi. Meskipun efektif mencegah disintegrasi, UU ini menjadi basis sistem pemerintahan yang otoriter dan kurang responsif terhadap aspirasi lokal. Pemahaman atas UU ini penting untuk menganalisis akar masalah desentralisasi di Indonesia kontemporer.