Berikut analisis mendalam mengenai UU No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia beserta konteks historis dan informasi tambahan yang relevan:
Konteks Historis
-
Deklarasi Djuanda 1957:
UU ini merupakan evolusi dari Deklarasi Djuanda yang dicetuskan Perdana Menteri Djuanda Kartawidjaja. Deklarasi ini mengubah paradigma Indonesia dari “negara kepulauan” (archipelagic state) menjadi “negara maritim” dengan menyatukan laut antarpulau sebagai wilayah kedaulatan. Sebelumnya, hukum kolonial Belanda (Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie 1939) hanya mengakui laut selebar 3 mil dari garis pantai, memisahkan pulau-pulau sebagai entitas terpisah. -
UU No. 4/Prp/1960:
Deklarasi Djuanda diadopsi ke dalam UU No. 4/Prp/1960, tetapi belum sepenuhnya diakui internasional. Baru setelah UNCLOS 1982 (United Nations Convention on the Law of the Sea) diratifikasi Indonesia melalui UU No. 17/1985, konsep archipelagic state memperoleh legitimasi global. UU No. 6/1996 hadir untuk menyelaraskan hukum nasional dengan UNCLOS 1982. -
Kepentingan Geopolitik:
UU ini lahir di era pasca-Reformasi, di tengah meningkatnya ketegangan di Laut Cina Selatan dan klaim teritorial di perairan Asia Tenggara. Indonesia perlu mempertegas batas maritim untuk melindungi sumber daya (seperti migas dan perikanan) serta mencegah pelanggaran kedaulatan oleh kapal asing.
Poin Krusial dalam UU No. 6/1996
-
Definisi Wilayah Perairan:
- Laut Teritorial (12 mil): Diukur dari garis pangkal kepulauan, mencakup kedaulatan penuh Indonesia.
- Perairan Kepulauan: Laut di antara pulau-pulau, diakui sebagai bagian integral NKRI berdasarkan Wawasan Nusantara.
- Perairan Pedalaman: Teluk, selat, dan muara sungai yang sepenuhnya berada di bawah yurisdiksi Indonesia.
-
Hak Lintas Damai (Innocent Passage):
- Kapal asing boleh melintas tanpa ancaman (senjata, spionase, atau polusi), tetapi harus patuh pada hukum Indonesia.
- Lintas Alur Laut Kepulauan (Archipelagic Sea Lanes/ASL): Diatur terpisah melalui PP No. 37/2002, menetapkan tiga alur utama (Sunda, Lombok, dan Makassar) untuk kapal internasional.
-
Pencabutan UU No. 4/Prp/1960:
UU lama dinilai tidak kompatibel dengan UNCLOS 1982, terutama terkait hak lintas kapal asing dan definisi zona ekonomi eksklusif (ZEE).
Implikasi dan Tantangan
-
Sengketa Batas Maritim:
UU ini menjadi dasar negosiasi batas maritim dengan negara tetangga (e.g., Malaysia di Ambalat, Filipina di Mindanao). Namun, hingga kini, 9 dari 20 perjanjian batas maritim Indonesia belum final. -
Penegakan Hukum di Laut:
Meski kedaulatan diperkuat, minimnya armada patroli dan koordinasi antarlembaga (TNI AL, Bakamla, KKP) membuat illegal fishing, pembajakan, dan pelanggaran batas masih marak. -
Revisi oleh UU No. 32/2014:
UU No. 6/1996 dicabut dan digantikan UU No. 32/2014 tentang Kelautan untuk mengakomodasi perkembangan seperti pengelolaan ZEE, keamanan maritim, dan isu lingkungan (e.g., perlindungan terumbu karang).
Fakta Tambahan
- UNCLOS 1982 mengizinkan negara kepulauan seperti Indonesia menarik garis pangkal lurus (straight baselines) untuk menghubungkan titik terluar pulau, memperluas kedaulatan maritim.
- Alur Laut Kepulauan (ASL) di Selat Sunda dan Lombok menjadi jalur strategis bagi 40% perdagangan global, termasuk pengiriman minyak dari Timur Tengah ke Asia Timur.
- Status “Tidak Berlaku”: UU No. 6/1996 tetap relevan sebagai acuan historis, meski secara formal telah digantikan UU No. 32/2014.
Rekomendasi: Bagi klien yang berkepentingan dengan aktivitas maritim (e.g., pelayaran, eksplorasi migas), penting merujuk UU No. 32/2014 dan peraturan turunannya, serta mempertimbangkan aspek hukum internasional (UNCLOS) dalam penyusunan kontrak atau resolusi sengketa.