Berikut analisis mendalam mengenai UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan beserta konteks historis dan informasi tambahan yang relevan:
Konteks Historis
-
Era Orde Baru dan Stabilitas Pangan
UU ini lahir pada masa akhir pemerintahan Orde Baru (1966–1998), di mana kebijakan pangan menjadi prioritas untuk menjaga stabilitas sosial-politik. Pemerintah saat itu fokus pada swasembada beras (tercapai 1984) melalui program intensifikasi pertanian (BIMAS/INSUS) dan peran Bulog sebagai penstok beras nasional. UU No. 7/1996 menjadi payung hukum untuk memperkuat kerangka kebijakan pangan yang sentralistik. -
Krisis Ekonomi 1997–1998
Meski diundangkan tahun 1996, UU ini tidak sempat diimplementasikan secara maksimal akibat krisis moneter 1997 yang memicu kerusuhan sosial dan kelangkaan pangan. Krisis ini mengekspos kerentanan sistem pangan nasional, terutama ketergantungan pada impor dan distribusi yang tidak merata. -
Pengaruh Global
UU ini juga merespons kesepakatan WTO Agreement on Agriculture (1995) yang mulai berlaku, di mana Indonesia perlu menyesuaikan regulasi pangan domestik dengan komitmen perdagangan internasional, termasuk subsidi, tarif impor, dan standar keamanan pangan.
Poin Kunci UU No. 7/1996
-
Kedaulatan Pangan vs. Ketahanan Pangan
UU ini masih berorientasi pada ketahanan pangan (food security) dengan fokus pada ketersediaan fisik, sementara konsep kedaulatan pangan (food sovereignty) yang melibatkan hak petani dan keberlanjutan lingkungan belum diakomodasi.
→ Diperbarui dalam UU No. 18/2012 yang mengintegrasikan kedua aspek tersebut. -
Peran Negara yang Dominan
- Bulog diamanatkan sebagai lembaga tunggal pengelola stok pangan strategis (beras, gula, kedelai).
- Pemerintah pusat memiliki kewenangan luas dalam penetapan harga dasar, impor, dan distribusi.
→ Sentralisasi ini dinilai tidak lagi relevan pasca-Reformasi 1998 yang mendorong otonomi daerah.
-
Keamanan Pangan
UU ini mengatur standar keamanan pangan (Pasal 21–22) tetapi belum spesifik mengantisipasi isu modern seperti genetically modified organisms (GMO), bahan tambahan pangan sintetis, atau praktik food fraud.
→ Diperkuat dalam PP No. 28/2004 tentang Keamanan, Mutu, dan Gizi Pangan.
Alasan Pencabutan (UU No. 18/2012)
-
Perubahan Paradigma
UU No. 7/1996 dianggap terlalu elitis dan tidak melindungi hak produsen kecil. UU No. 18/2012 memperkenalkan prinsip keberagaman pangan lokal (non-beras) dan perlindungan terhadap petani tradisional. -
Desentralisasi
UU baru memberikan kewenangan lebih besar kepada pemerintah daerah dalam mengelola cadangan pangan sesuai potensi lokal. -
Krisis Pangan Global 2008
Lonjaka harga komoditas global (beras, gandum) menyadarkan pemerintah akan pentingnya diversifikasi pangan dan mengurangi ketergantungan impor.
Implikasi Hukum & Praktik
- Sengketa Impor Pangan: UU No. 7/1996 kerap dijadikan dasar gugatan judicial review terhadap kebijakan impor pangan yang dianggap merugikan petani (misal: impor beras oleh Bulog).
- Legacy Kebijakan: Meski dicabut, beberapa kebijakan turunan UU ini (seperti Perpres tentang Harga Pembelian Pemerintah/HPP) masih berlaku hingga kini.
- Relevansi dalam Putusan Pengadilan: Pasal-pasal terkait sanksi pidana pencemaran pangan (Pasal 55) masih dirujuk dalam kasus kontaminasi pangan meski UU telah dicabut.
Rekomendasi untuk Klien
- Due Diligence: Pastikan kebijakan/perusahaan terkait pangan merujuk UU No. 18/2012 dan peraturan turunannya.
- Sengketa Lahan Pertanian: Manfaatkan Pasal 80 UU No. 18/2012 tentang perlindungan lahan pangan berkelanjutan untuk kasus alih fungsi lahan.
- Antisipasi Risiko: Pelaku usaha harus mematuhi standar keamanan pangan dalam UU baru (SNI, sertifikasi halal, labelisasi) untuk menghindari sanksi administratif/pidana.
Semoga analisis ini memberikan perspektif komprehensif untuk kepentingan hukum klien.