Analisis Hukum Terkait UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
Konteks Historis
UU No. 7 Tahun 2004 dibentuk sebagai pengganti UU No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan yang dianggap tidak lagi sesuai dengan perkembangan tata kelola sumber daya air, terutama pasca-Reformasi 1998. Pada era 2000-an, Indonesia menghadapi tantangan kritis seperti ketimpangan ketersediaan air, degradasi lingkungan, dan tekanan privatisasi sektor publik. UU ini dirancang untuk mengakomodasi partisipasi multipihak (pemerintah, swasta, koperasi, masyarakat) dalam pengelolaan air, sekaligus menegaskan prinsip kelestarian dan keadilan.
Putusan MK Tahun 2013: Pencabutan UU No. 7/2004
Pada 2013, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan No. 85/PUU-XI/2013 mencabut UU ini secara keseluruhan dengan pertimbangan:
- Konflik dengan Pasal 33 UUD 1945: Privatisasi air melalui keterlibatan swasta dinilai bertentangan dengan prinsip "dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat".
- Ancaman terhadap Hak Konstitusional Rakyat: Pembukaan ruang investasi swasta berisiko mengkomersialisasi air sebagai barang ekonomi, bukan hak dasar publik.
- Ketidakjelasan Pengawasan: Mekanisme pengendalian partisipasi swasta dianggap lemah, berpotensi memicu monopoli.
Akibat putusan ini, UU No. 11 Tahun 1974 berlaku kembali, meski dianggap ketinggalan zaman karena tidak mengatur isu seperti perubahan iklim, krisis air global, atau partisipasi masyarakat modern.
Isu Krusial yang Perlu Diketahui
- Protes Masyarakat Sipil: UU No. 7/2004 memicu penolakan luas dari aktivis lingkungan dan organisasi masyarakat karena dianggap melegitimasi komersialisasi air. Kasus privatisasi air di Jakarta (1997-2023) menjadi contoh konkret dampak negatifnya.
- Dampak Pencabutan:
- Ketidakpastian Hukum: Sektor pengelolaan air kembali mengacu ke UU 1974 yang kurang mengatur tata kelola holistik.
- Vakum Regulasi: Hingga kini, RUU Sumber Daya Air baru masih dalam pembahasan, menghambat penanganan masalah seperti banjir, kekeringan, dan pencemaran air.
- Global vs. Lokal: UU No. 7/2004 terinspirasi tren global privatisasi air (seperti di Bolivia dan Filipina), tetapi gagal menyesuaikan dengan nilai konstitusi Indonesia yang menempatkan air sebagai hak asasi.
Pelajaran Penting
- Air sebagai Commons: Putusan MK 2013 menegaskan bahwa air adalah hak rakyat yang tidak boleh dikendalikan oleh korporasi.
- Perlunya Regulasi Baru: Pemerintah perlu segera menyusun UU yang mengintegrasikan aspek ekologi, keadilan sosial, dan partisipasi publik tanpa mengulangi kesalahan UU No. 7/2004.
Catatan: Meski UU No. 7/2004 sudah dicabut, materi pengelolaan air di dalamnya (seperti keterpaduan antarsektor) masih relevan sebagai bahan evaluasi untuk penyusunan regulasi masa depan.