Analisis Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme
1. Konteks Historis dan Global
- Dampak Global Pasca-9/11: UU ini tidak terlepas dari tekanan komunitas internasional, khususnya Financial Action Task Force (FATF), yang mendorong negara-negara memberlakukan regulasi ketat untuk memutus aliran dana terorisme. Indonesia, sebagai anggota FATF sejak 2012, perlu menyesuaikan hukum nasional agar tidak masuk daftar "negara berisiko tinggi" yang berdampak pada investasi dan perdagangan.
- Serangan Teror di Indonesia: Tragedi Bom Bali (2002, 2005), Bom JW Marriott (2009), dan aktivitas kelompok seperti Jemaah Islamiyah (JI) menjadi pemicu penguatan kerangka hukum, termasuk aspek pendanaan yang selama ini menjadi "urat nadi" aksi teror.
2. Penguatan Regulasi Sebelumnya
- UU ini mencabut sebagian Pasal 11 dan Pasal 13 huruf a Perpu No. 1 Tahun 2002 (yang telah ditetapkan menjadi UU No. 15 Tahun 2003). Perubahan ini menunjukkan perluasan definisi tindak pidana pendanaan terorisme dan mekanisme yang lebih spesifik, seperti:
- Pembekuan Aset Proaktif: Kewenangan PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) dan Kepolisian untuk membekuan aset tanpa perlu menunggu putusan pengadilan.
- Peran Institusi Keuangan: Bank dan lembaga keuangan wajib melaporkan transaksi mencurigakan serta melakukan due diligence terhadap nasabah.
3. Respons terhadap Kerentanan Sistem Keuangan
- Sebelum UU ini, pelaku terorisme di Indonesia sering memanfaatkan remittance informal (seperti hawala), donasi melalui lembaga amal, atau bisnis ilegal untuk mengalirkan dana. UU No. 9/2013 memperkuat pengawasan transaksi keuangan digital dan non-bank, termasuk crowdfunding yang berpotensi disalahgunakan.
4. Kritik dan Tantangan Implementasi
- Potensi Penyalahgunaan: Ada kekhawatiran pasal karet seperti definisi "pendanaan terorisme" yang terlalu luas bisa digunakan untuk kriminalisasi kelompok tertentu atau membatasi kebebasan sipil.
- Koordinasi Antarlembaga: Efektivitas UU ini bergantung pada sinergi PPATK, BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme), Kejaksaan, dan Kepolisian. Namun, hingga kini, masih ada tantangan dalam berbagi data dan kapasitas investigasi.
5. Dampak dan Kasus Penting
- UU ini menjadi dasar hukum dalam kasus seperti pembekuan aset organisasi yang diduga terkait terorisme (misal: Front Pembela Islam/FPI pada 2020) serta pidana terhadap individu yang mengirim dana ke kelompok ISIS di Suriah.
6. Regulasi Pendukung
- UU No. 9/2013 diperkuat dengan Peraturan Pelaksana seperti PP No. 43 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pemblokiran dan Penyitaan Aset, serta Revisi UU Tindak Pidana Pencucian Uang (UU No. 8 Tahun 2010 yang diubah menjadi UU No. 9 Tahun 2013).
Kesimpulan: UU No. 9/2013 adalah respons progresif Indonesia terhadap ancaman terorisme global, tetapi implementasinya perlu terus dievaluasi agar tetap proporsional dan tidak mengorbankan hak asasi manusia.