Analisis Mendalam Terhadap UUDrt No. 1 Tahun 1951
Konteks Historis:
-
Pasca-Kemerdekaan & Fragmentasi Sistem Hukum
UUDrt No. 1/1951 lahir dalam situasi transisi pasca-pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda (1949). Saat itu, sistem peradilan masih sangat terfragmentasi akibat warisan kolonial, seperti:- Pengadilan Swapraja (daerah istimewa dengan hukum adat lokal).
- Landraad (pengadilan sipil Belanda untuk pribumi).
- Pengadilan Gubernemen untuk orang Eropa/Timur Asing.
UU ini menjadi upaya awal menyatukan kerangka peradilan sipil di bawah payung Republik Indonesia.
-
Transisi dari RIS ke Negara Kesatuan (1950)
Pada 1950, Indonesia beralih dari Republik Indonesia Serikat (RIS) ke Negara Kesatuan. UUDrt No. 1/1951 adalah respons untuk menghapus dualisme hukum warisan RIS dan mengonsolidasi otoritas peradilan di tingkat nasional. -
Kondisi Darurat Politik
Diberlakukan sebagai undang-undang darurat (berdasarkan Pasal 96 Konstitusi Sementara 1950), hal ini mencerminkan urgensi pemerintah mengatasi kekacauan struktural pasca-revolusi, termasuk pemberontakan daerah dan ancaman disintegrasi.
Poin Krusial yang Sering Terlewatkan:
-
Penghapusan Pluralisme Pengadilan Kolonial
UU ini menghapus pengadilan berbasis ras/etnis (seperti Landraad) dan menggantinya dengan struktur pengadilan sipil yang seragam (Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi). Ini menjadi dasar sistem peradilan modern Indonesia. -
Dasar Penyusunan KUHP dan KUHAP
Unifikasi susunan kekuasaan dan acara peradilan dalam UU ini memungkinkan kodifikasi hukum acara pidana/perdata yang lebih sistematis, yang keluar dalam KUHP (1958) dan KUHAP (1981). -
Pengaruh Kabinet Soekiman Wirjosandjojo
UU ini disahkan di bawah kabinet koalisi Masyumi-PNI (1951–1952) yang fokus pada stabilisasi hukum, meski menuai kritik karena dianggap sentralistik dan mengabaikan keragaman hukum adat. -
Status Hukum yang Unik
Meski berlabel darurat, UU ini tetap berlaku hingga diintegrasikan ke dalam UU No. 19/1964 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. Ini menunjukkan betapa fundamentalnya kerangka hukum yang dibangun.
Tantangan Implementasi:
- Resistensi Daerah: Beberapa wilayah (seperti Sumatera Timur) menolak penghapusan pengadilan adat, memicu ketegangan antara pemerintah pusat dan daerah.
- Keterbatasan SDM: Kurangnya hakim dan infrastruktur menghambat unifikasi, terutama di luar Jawa.
Relevansi Kontemporer:
Prinsip kesatuan peradilan dalam UUDrt No. 1/1951 masih menjadi jiwa sistem peradilan Indonesia, meski kini diatur dalam UU No. 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. UU ini adalah fondasi historis dari asas “negara hukum” dalam Pasal 1(3) UUD 1945.
Sebagai advokat, pemahaman atas akar historis UU ini penting untuk menafsirkan norma hukum acara secara kontekstual, terutama dalam kasus yang melibatkan konflik kewenangan lembaga peradilan.