Analisis Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN No. 20 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penertiban dan Pendayagunaan Kawasan dan Tanah Telantar
Konteks Historis dan Latar Belakang
-
Akar Masalah Tanah Telantar di Indonesia
Permasalahan tanah telantar (lahan menganggur) telah menjadi isu krusial sejak era kolonial Belanda, di mana penguasaan tanah oleh segelintir pihak menciptakan ketimpangan. Pasca-UUPA 1960, upaya reforma agraria digaungkan, tetapi implementasinya terhambat oleh tumpang-tindih regulasi, konflik kepemilikan, dan lemahnya penegakan hukum. Permen ini hadir sebagai respons atas stagnasi pemanfaatan tanah untuk kepentingan publik dan pemerataan ekonomi. -
Kebijakan Pemerintah Jokowi
Permen ini selaras dengan agenda Program Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial pemerintahan Jokowi (2015–sekarang) yang menargetkan redistribusi 9 juta hektar tanah. Fokus pada tanah telantar merupakan strategi untuk memenuhi target tersebut tanpa perlu konflik pengadaan lahan baru, terutama di daerah urban seperti Jakarta yang rawan spekulasi dan penimbunan tanah. -
Dasar Hukum Pendahulu
Permen ini merupakan turunan dari PP No. 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Telantar, yang dinilai belum efektif karena prosedur yang rumit. Perubahan kewenangan dari kementerian ke BPN (via Permen ini) mempertegas peran BPN sebagai leading sector untuk percepatan penanganan.
Poin Krusial yang Perlu Diketahui Klien
-
Definisi "Tanah Telantar" yang Diperluas
Pasal 2 Permen ini memperjelas kriteria tanah telantar tidak hanya berdasarkan ketiadaan aktivitas ekonomi, tetapi juga:- Pemanfaatan tidak sesuai sertifikat (misal: izin HGB untuk bangunan digunakan sebagai lahan kosong).
- Pemilik tidak memenuhi kewajiban perpajakan/prosedur perpanjangan hak.
- Tanah sengketa yang terbengkalai lebih dari 2 tahun.
-
Mekanisme "Peringatan Bertahap"
BPN wajib memberikan 3 kali peringatan dalam 180 hari kepada pemilik sebelum menetapkan status "telantar". Klien pemegang hak tanah harus memastikan dokumen kepemilikan dan bukti pemanfaatan tanah (misal: laporan progres pembangunan) tersedia untuk menghindari sanksi. -
Skema Redistribusi dan Sanksi
Tanah yang ditetapkan telantar dapat:- Dialihkan ke negara dengan ganti rugi maksimal 30% NJOP (Pasal 12).
- Dilelang untuk proyek strategis (infrastruktur, perumahan murah).
- Didaftarkan sebagai aset Pemerintah Daerah jika tidak ada klaim dalam 5 tahun.
-
Peran Aktif Masyarakat
Masyarakat dapat melaporkan tanah diduga telantar ke BPN melalui Aduan Publik Berbasis Aplikasi (Pasal 7). Klien pemilik tanah perlu mewaspadai potensi laporan ini, terutama di daerah padat seperti Jakarta.
Tantangan Implementasi
-
Potensi Penyalahgunaan
Mekanisme pelaporan masyarakat rentan dipolitisasi oleh oknum atau pesaing bisnis untuk merebut tanah strategis. Klien disarankan melakukan pemantauan berkala terhadap status tanah dan membangun komunikasi proaktif dengan Kantor Pertanahan setempat. -
Konflik dengan Hak Ulayat dan Adat
Permen ini belum secara eksplisit mengatur alih status tanah adat yang dianggap telantar. Di daerah seperti Papua atau Sumatra, klausul ini dapat memicu sengketa jika BPN tidak berkoordinasi dengan pemangku adat. -
Prosedur Kompensasi yang Tidak Jelas
Besaran ganti rugi 30% NJOP dinilai tidak realistis, terutama di daerah dengan inflasi harga tanah tinggi (misal: Jakarta Utara). Klien berisiko kehilangan aset dengan nilai kompensasi jauh di bawah pasar.
Rekomendasi Strategis untuk Klien
-
Audit Legal Aset Tanah
Pastikan semua sertifikat tanah klien telah sesuai peruntukan, dilengkapi dokumen pendukung (izin lokasi, bukti pembayaran PBB), dan tidak ada tumpang-tindih klaim. -
Mitigasi Risiko Pelaporan
Jika klien memiliki tanah kosong, pertimbangkan untuk membuat MoU dengan pihak ketiga (misal: pengembang) sebagai bukti pemanfaatan, atau ajukan izin sementara untuk aktivitas komersial sederhana (parkir, taman publik). -
Advokasi Hukum Proaktif
Jika tanah klien terkena penetapan telantar, manfaatkan jalur keberatan administratif ke BPN Pusat dalam 14 hari (Pasal 10) atau gugatan ke PTUN. Pastikan bukti pemanfaatan (foto progres, kontrak) disiapkan sejak dini.
Permen ATR/BPN No. 20/2021 merupakan instrumen progresif untuk optimalisasi lahan, tetapi klien perlu antisipasi risiko melalui kesiapan dokumen dan strategi hukum yang tepat.