Berikut analisis mendalam mengenai Permenkes No. 1799/MENKES/PER/XII/2010 tentang Industri Farmasi, dilengkapi konteks historis dan informasi kritis yang perlu diketahui:
Konteks Historis
-
Regulasi Sebelumnya
Peraturan ini menggantikan Permenkes No. 245/Menkes/Per/V/1990 tentang Industri Farmasi. Perubahan diperlukan karena perkembangan teknologi farmasi, tuntutan standar global (seperti Good Manufacturing Practices/GMP dari WHO), dan kebutuhan untuk meningkatkan keamanan dan mutu obat di Indonesia.- Catatan Penting: Sebelum 2010, industri farmasi Indonesia menghadapi kritik terkait lemahnya pengawasan mutu dan maraknya obat ilegal.
-
Dorongan Reformasi Kesehatan
Peraturan ini sejalan dengan UU No. 36/2009 tentang Kesehatan dan PP No. 51/2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, yang menekankan perlunya sistem farmasi nasional yang terintegrasi untuk menjamin akses obat berkualitas.
Materi Krusial yang Perlu Diketahui
-
Penguatan Standar Produksi
- Menetapkan persyaratan ketat untuk Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) sebagai syarat utama operasional industri farmasi.
- Memperkenalkan audit reguler oleh Kemenkes untuk memastikan kepatuhan.
-
Perluasan Kewajiban Pelaku Industri
- Kewajiban memiliki Apoteker Penanggung Jawab di setiap fasilitas produksi.
- Pelaporan wajib efek samping obat (adverse drug reactions) ke otoritas kesehatan.
-
Pengaturan Distribusi
- Industri farmasi wajib memastikan rantai distribusi yang memenuhi standar suhu dan keamanan, terutama untuk obat esensial dan vaksin.
Dampak Strategis
-
Konsolidasi Industri
Banyak industri farmasi kecil gulung tikar karena tidak mampu memenuhi investasi untuk peningkatan fasilitas CPOB. Hanya perusahaan dengan modal kuat (termasuk multinasional) yang bertahan, memicu konsentrasi pasar. -
Peningkatan Kepercayaan Internasional
Standar CPOB dalam Permenkes ini mendorong ekspor produk farmasi Indonesia ke pasar ASEAN dan Timur Tengah, karena dianggap setara dengan standar WHO. -
Integrasi Obat Tradisional
Peraturan ini juga mengatur industri obat tradisional (herbal) dengan mewajibkan pendaftaran Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), mengubah paradigma dari sekadar "jamu" menjadi produk terstandar.
Perkembangan Pasca-2010
-
Revisi dan Penyesuaian
Permenkes ini menjadi dasar bagi regulasi turunan seperti Permenkes No. 3 Tahun 2015 tentang Pelayanan Farmasi Industri dan Permenkes No. 12 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Permenkes No. 1799/2010 yang memperkuat aspek digitalisasi pelaporan. -
Tantangan Implementasi
- Masih terdapat disparitas kepatuhan antara industri di Jawa dan luar Jawa.
- Kasus pelanggaran CPOB oleh beberapa industri besar (misalnya: pencampuran bahan aktif di bawah standar) menunjukkan perlunya pengawasan lebih ketat.
Rekomendasi untuk Klien
- Industri farmasi baru harus memprioritaskan kepatuhan CPOB sejak fase perencanaan untuk menghindari penolakan izin.
- Lakukan audit internal berkala dan persiapkan dokumen pelaporan efek samping obat sebagai mitigasi risiko hukum.
- Manfaatkan insentif pemerintah (seperti tax allowance) untuk investasi teknologi produksi berstandar internasional.
Permenkes ini menjadi landasan transformasi industri farmasi Indonesia menuju daya saing global, meski tantangan pengawasan dan kesenjangan infrastruktur masih perlu diatasi.