Analisis PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
Berikut konteks historis dan informasi tambahan yang perlu diketahui terkait PP ini:
1. Latar Belakang Historis
- Warisan Kolonial: Sistem pendaftaran tanah di Indonesia sebelumnya didominasi oleh hukum kolonial Belanda (seperti Agrarische Wet 1870) yang bersifat diskriminatif dan tidak mengakui hak adat secara utuh. PP No. 24/1997 menjadi bagian dari upaya dekolonisasi hukum agraria pasca-UUPA 1960.
- Reformasi UUPA 1960: PP ini merupakan pelaksanaan lebih lanjut dari Pasal 19 UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang mengamanatkan pendaftaran tanah secara sistematis dan sporadis untuk menjamin kepastian hukum.
2. Konteks Sosio-Ekonomi 1997
- Krisis Moneter 1997: PP ini disahkan di tengah gejolak krisis ekonomi Asia (dimulai Juli 1997). Pemerintah ingin memperkuat stabilitas properti dan menarik investasi dengan memastikan sistem pendaftaran tanah yang transparan.
- Era Liberalisasi Ekonomi: Kebijakan ini sejalan dengan agenda Orde Baru untuk mempermudah akuisisi tanah bagi proyek infrastruktur dan investasi swasta, meski menuai kritik karena berpotensi mengabaikan hak masyarakat adat.
3. Inovasi Sistem Pendaftaran
- Digitalisasi Awal: PP No. 24/1997 menjadi fondasi transisi dari sistem manual (berbasis fisik) ke pendaftaran berbasis data terpusat. Ini menjadi cikal bakal sistem e-PPT (elektronik Pendaftaran Tanah) yang dikembangkan BPN hari ini.
- Sertifikat Hak atas Tanah: PP ini menegaskan sertifikat sebagai alat bukti terkuat (Pasal 32), menggantikan sistem girik atau letter C yang rentan sengketa.
4. Tantangan Implementasi
- Tumpang Tindih Klaim: Di daerah, PP ini sering berbenturan dengan sistem hukum adat yang belum terintegrasi dengan baik, memicu konflik antara sertifikat negara dan hak ulayat.
- Keterbatasan Infrastruktur: Pada 1997, kapasitas BPN (Badan Pertanahan Nasional) masih terbatas, menyebabkan proses pendaftaran tanah tersendati, terutama di wilayah terpencil.
5. Relevansi Kontemporer
- Landas Hukum Modernisasi Agraria: PP ini masih berlaku dan menjadi acuan utama dalam reformasi agraria era Jokowi, seperti program pendaftaran tanah sistematis lengkap (PTSL).
- Antisipasi Mafia Tanah: Dengan mekanisme pendaftaran yang jelas, PP ini menjadi tameng hukum untuk mencegah praktik perampasan tanah (land grabbing) dan pemalsuan sertifikat.
Catatan Kritis: Meski progresif, PP ini belum sepenuhnya mengakomodasi pluralisme hukum agraria Indonesia. Sengketa tanah hingga kini masih sering terjadi karena lemahnya sosialisasi dan inkonsistensi implementasi di lapangan.