Analisis Hukum Terkait PP No. 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Konteks Historis
PP No. 35 Tahun 2023 hadir sebagai respons terhadap dinamika kebijakan fiskal daerah dan kebutuhan harmonisasi aturan pemungutan pajak/retribusi daerah. Sebelumnya, pengaturan pajak dan retribusi daerah tersebar di beberapa peraturan, seperti:
- PP No. 97 Tahun 2012: Mengatur tata cara pemungutan pajak daerah.
- PP No. 55 Tahun 2016: Mengatur mekanisme retribusi daerah.
- PP No. 10 Tahun 2021: Menyesuaikan kebijakan insentif pajak daerah selama pandemi COVID-19.
Fragmen regulasi ini sering menimbulkan tumpang tindih, ketidakefisienan, dan ketidakpastian hukum. PP No. 35/2023 mengkonsolidasi aturan-aturan tersebut sekaligus menyesuaikannya dengan UU No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat-Daerah (HKPD) yang mengamanatkan penyeragaman prosedur pemungutan pajak/retribusi daerah.
Poin Penting yang Perlu Diketahui
-
Dukungan untuk Kemudahan Berusaha dan Investasi
- PP ini memperkuat kebijakan Omnibus Law UU Cipta Kerja dengan menyederhanakan administrasi pajak daerah, termasuk pemberian insentif (misalnya, pengurangan/pembebasan pajak) untuk menarik investasi.
- Mekanisme penyesuaian tarif pajak/retribusi dirancang lebih fleksibel, namun tetap memerlukan evaluasi ketat oleh pemerintah pusat untuk mencegah kebijakan daerah yang merugikan iklim usaha.
-
Optimalisasi Data dan Kolaborasi
- Pemerintah daerah didorong memanfaatkan data dari pemerintah pusat, daerah lain, atau pihak ketiga (contoh: platform digital) untuk mendeteksi potensi penerimaan pajak.
- Kerahasiaan data dijamin sesuai UU PDP (Perlindungan Data Pribadi), mengantisipasi risiko kebocoran data yang marak terjadi di era digital.
-
Penghapusan Piutang Pajak/Retribusi
- Kepala daerah kini memiliki kewenangan menghapus piutang pajak/retribusi yang sudah kedaluwarsa atau tidak mungkin ditagih, dengan syarat harus melalui analisis mendalam dan transparan untuk mencegah penyalahgunaan wewenang.
-
Mekanisme Keberatan dan Gugatan
- Wajib pajak/retribusi diberikan akses lebih jelas untuk mengajukan keberatan administratif atau gugatan ke pengadilan pajak, mencerminkan prinsip due process of law.
-
Evaluasi Raperda oleh Pemerintah Pusat
- Rancangan Perda (Raperda) pajak/retribusi wajib dievaluasi pusat untuk memastikan keselarasan dengan kebijakan nasional dan menghindari praktik "pajak liar" yang memberatkan masyarakat.
Implikasi Strategis
- Bagi Pemda: Diperlukan pembenahan sistem administrasi pajak berbasis teknologi untuk memenuhi standar PP ini, termasuk integrasi data dengan sistem pusat (SIMPATDA/SIPD).
- Bagi Pelaku Usaha: Insentif dan kepastian tarif dapat mengurangi beban ekonomi, tetapi perlu kehati-hatian terhadap potensi kenaikan retribusi di sektor tertentu (contoh: izin usaha).
- Bagi Masyarakat: Transparansi pemungutan pajak/retribusi diharapkan mengurangi praktik korupsi atau pungutan liar di level daerah.
Catatan Kritis
- PP ini belum sepenuhnya mengakomodasi kompleksitas pajak digital (misalnya: pajak atas transaksi e-commerce), yang masih memerlukan pengaturan lebih lanjut.
- Ketersediaan SDM ahli di daerah menjadi tantangan implementasi, terutama dalam hal analisis data dan penagihan pajak berbasis risiko.
PP No. 35/2023 merupakan langkah progresif untuk memperkuat otonomi fiskal daerah yang bertanggung jawab, sejalan dengan agenda reformasi struktural Indonesia. Namun, keberhasilannya sangat bergantung pada kapasitas kelembagaan dan komitmen antarkoridor pemerintahan.