Analisis Mendalam terhadap PP No. 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan
Konteks Historis
PP No. 36/2021 lahir sebagai implementasi dari Undang-Undang Cipta Kerja (UU No. 11/2020) yang kontroversial. UU Cipta Kerja sendiri dirancang untuk menyederhanakan regulasi guna meningkatkan iklim investasi dan menciptakan lapangan kerja. PP ini menggantikan PP No. 78/2015 tentang Pengupahan, yang dinilai kurang fleksibel dalam merespons dinamika ekonomi, terutama pascapandemi COVID-19 dan tekanan terhadap UMKM.
Perubahan Signifikan
-
Formula Upah Minimum yang Diubah
- PP No. 78/2015 menggunakan formula pertumbuhan ekonomi (PE) + inflasi untuk menetapkan upah minimum.
- PP No. 36/2021 menghapus formula tersebut, memberikan kewenangan kepada gubernur untuk menetapkan upah minimum berdasarkan rekomendasi Dewan Pengupahan dengan mempertimbangkan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.
- Dampak: Kebijakan ini menuai kritik dari serikat pekerja karena dianggap mengurangi kepastian kenaikan upah.
-
Pengupahan untuk Usaha Mikro dan Kecil (UMK)
- PP ini memperkenalkan upah terendah khusus untuk UMK yang lebih rendah dari upah minimum provinsi/kabupaten.
- Alasan: Mengakomodasi kemampuan finansial UMK yang rentan secara ekonomi, sekaligus melindungi pekerja dengan tetap memberikan batasan upah minimum.
-
Komponen Upah yang Fleksibel
- Upah dapat terdiri dari kombinasi upah pokok, tunjangan tetap, dan/atau tidak tetap. Ini berbeda dengan PP sebelumnya yang mewajibkan upah pokok minimal 75% dari total upah.
- Tujuan: Memberikan fleksibilitas kepada perusahaan dalam menyusun struktur upah, terutama di sektor informal atau berbasis hasil (piece rate).
-
Sanksi Administratif
- Pelanggaran ketentuan pengupahan (misalnya keterlambatan bayar upah) dikenai sanksi administratif berupa denda atau pembatasan usaha.
- Perbedaan dari PP Lama: PP No. 78/2015 tidak mengatur sanksi administratif secara eksplisit.
Dampak dan Kontroversi
- Pro-Bisnis vs. Pro-Pekerja:
PP ini dianggap pro-bisnis karena mengurangi beban perusahaan dalam penyesuaian upah, tetapi dikritik sebagai melemahkan perlindungan pekerja, terutama di UMK. - Penolakan Serikat Pekerja:
Beberapa pasal dianggap bertentangan dengan Konvensi ILO No. 131 tentang Penetapan Upah Minimum, terutama terkait upah terendah untuk UMK.
Strategi Implementasi
- Dewan Pengupahan diberi peran kunci dalam merekomendasikan upah minimum. Komposisi dewan harus melibatkan perwakilan pekerja, pengusaha, dan pemerintah.
- UMK wajib membuat perjanjian kerja tertulis yang memuat komponen upah, meskipun upahnya lebih rendah dari standar umum.
Catatan Penting untuk Klien
- Penyesuaian Struktur Upah:
Perusahaan perlu merevisi struktur upah sesuai komponen yang dipilih (misal: menambah tunjangan tidak tetap untuk mengurangi beban upah pokok). - Risiko Hukum:
Pelanggaran ketentuan upah terendah untuk UMK tetap bisa dipidana berdasarkan Pasal 185 UU Cipta Kerja. - Peluang:
Fleksibilitas ini dapat dimanfaatkan untuk merancang sistem insentif berbasis kinerja, terutama di sektor manufaktur atau gig economy.
Konteks Global
PP ini sejalan dengan tren deregulasi ketenagakerjaan di negara berkembang untuk menarik investasi, meski berpotensi menimbulkan ketimpangan jika tidak diimbangi pengawasan ketat.
Kesimpulan: PP No. 36/2021 mencerminkan kompromi antara kepentingan ekonomi makro dan hak pekerja. Implementasinya perlu dipantau secara kritis untuk memastikan keseimbangan tersebut tercapai.