Berikut analisis mendalam mengenai UU No. 1 Tahun 2024 beserta konteks historis dan informasi pendukung yang relevan:
Konteks Historis UU ITE dan Perubahannya
-
UU ITE 2008 (UU No. 11/2008)
- Merupakan payung hukum siber pertama di Indonesia yang mengatur transaksi elektronik, informasi digital, dan tindak pidana siber.
- Pasal kontroversial seperti Pasal 27(3) tentang pencemaran nama baik dan Pasal 28(2) tentang ujaran kebencian kerap dipersepsikan multitafsir dan rentan disalahgunakan untuk kriminalisasi kritik.
-
Perubahan Pertama (UU No. 19/2016)
- Memperkuat sanksi pidana untuk pelanggaran hak privasi (Pasal 26) dan memperluas definisi data pribadi.
- Kritik muncul karena tidak ada batasan jelas tentang "informasi elektronik bermuatan penghinaan", sehingga berpotensi membungkam kebebasan berekspresi.
-
Perubahan Kedua (UU No. 1/2024)
- Dilatarbelakangi tingginya kasus pelaporan dugaan pencemaran nama baik (2.800+ laporan sejak 2016 berdasarkan data SAFENet) dan tekanan masyarakat untuk merevisi pasal karet.
- Isu krusial: Penyesuaian dengan UU PDP (Perlindungan Data Pribadi) dan kebutuhan penanganan kejahatan siber yang semakin kompleks (phishing, penipuan investasi online, dsb.).
Poin Revisi Penting dalam UU No. 1/2024
-
Penghapusan Pasal 27(3) UU ITE
- Alasan: Pasal ini dianggap bertentangan dengan Pasal 28E UUD 1945 (kebebasan berekspresi) setelah judicial review oleh aktivis dan LBH Pers.
- Pengganti: Mekanisme gugatan perdata untuk kasus pencemaran nama baik, kecuali jika termasuk tindak pidana khusus (misalnya ancaman kekerasan).
-
Pembatasan Penyadapan oleh Penegak Hukum
- Penyadapan elektronik kini harus mendapat izin pengadilan, mengacu pada standar HAM internasional (Privacy International vs UK).
-
Perlindungan Konsumen Transaksi Digital
- Mempertegas tanggung jawab platform digital (Pasal 15A) dalam transaksi e-commerce, termasuk jaminan refund dan perlindungan data pembeli.
-
Sanksi untuk Konten Illegal
- Memperjelas definisi "konten ilegal" seperti perjudian online, eksploitasi anak, dan radikalisme, dengan sanksi pidana lebih berat (Pasal 45C).
Tantangan Implementasi
-
Potensi Konflik dengan UU PDP
- Meski UU PDP telah disahkan (2022), implementasinya masih tahap awal. Perlu harmonisasi aturan teknis antara Kominfo dan Kemenkumham.
-
Edukasi Aparat Penegak Hukum
- Kasus seperti jerat hukum terhadap kritik kebijakan publik (misalnya kasus Baiq Nuril) menunjukkan perlunya sosialisasi standar baru ke polisi, jaksa, dan hakim.
-
Pengawasan Konten oleh Kominfo
- Revisi ini tetap memberi kewenangan luas kepada Kominfo memblokir konten tanpa proses pengadilan (Pasal 40), berisiko dianggap sebagai bentuk overblocking.
Catatan Kritis dari Civil Society
- Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menilai revisi ini belum sepenuhnya menghapus pasal karet, terutama terkait ujaran kebencian (Pasal 28(2)).
- ELSAM menyarankan integrasi prinsip due process dan proportionality dalam penanganan laporan kejahatan siber.
Rekomendasi untuk Stakeholder
- Pelaku Usaha: Segera menyesuaikan kebijakan privasi dan mekanisme transaksi sesuai Pasal 15A.
- Masyarakat Umum: Memahami batasan penggunaan hak berekspresi, termasuk risiko hukum untuk konten bermuatan SARA.
- Pemerintah: Membentuk satgas khusus untuk penanganan kejahatan siber lintas kementerian (BSSN, Polri, Kominfo).
Penutup: UU No. 1/2024 mencerminkan upaya adaptasi hukum terhadap dinamika digital, meski perlu diikuti dengan implementasi yang transparan dan berkeadilan.