Analisis UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
Konteks Historis
-
Tekanan Internasional:
UU ini lahir sebagai respons atas tuntutan Financial Action Task Force (FATF)—lembaga internasional pemberantas pencucian uang—agar Indonesia memiliki regulasi khusus untuk mencegah praktik pencucian uang. Sebelumnya, Indonesia dianggap high-risk jurisdiction akibat lemahnya kerangka hukum dan maraknya transaksi ilegal. -
Dampak Krisis Moneter 1998:
Pasca-krisis, praktik penggelapan dana (seperti aliran dana korupsi atau flight capital) meningkat. UU ini menjadi bagian dari reformasi sistem keuangan untuk memulihkan kepercayaan internasional dan mencegah pelarian modal ilegal. -
Konteks Global Pasca-9/11:
UU ini juga terkait dengan upaya global memerangi pendanaan terorisme (terrorism financing), meskipun regulasi pendanaan terorisme di Indonesia baru diatur lebih rinci dalam revisi UU ini pada 2010.
Poin Krusial yang Perlu Diketahui
-
Pembentukan PPATK:
UU ini mendirikan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sebagai lembaga independen yang berwenang mengawasi transaksi mencurigakan. Ini menjadi terobosan besar, karena sebelumnya Indonesia tidak memiliki mekanisme pelaporan transaksi keuangan yang sistematis. -
Predicate Offense Terbatas:
Dalam UU 2002, tindak pidana asal (predicate offense) pencucian uang hanya mencakup 12 jenis kejahatan, seperti korupsi, narkotika, dan terorisme. Ini dianggap terlalu sempit dan diperluas dalam revisi UU No. 8 Tahun 2010 menjadi 22 jenis kejahatan. -
Sanksi yang Tidak Progresif:
Sanksi pidana dalam UU ini relatif ringan (penjara maksimal 10 tahun dan denda Rp10 miliar). Dalam praktik, hal ini menyulitkan penindakan kasus kompleks, sehingga kemudian direvisi untuk memperberat sanksi.
Tantangan Implementasi
- Kultur Rahasia Bank:
UU ini dianggap "mengganggu" praktik perbankan yang selama ini dianggap sakral karena mewajibkan lembaga keuangan melaporkan transaksi mencurigakan. Butuh waktu untuk menyelaraskan kepentingan privasi dengan kepatuhan hukum. - Koordinasi Lintas Lembaga:
PPATK awalnya kesulitan berkoordinasi dengan Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK karena ego sektoral. Baru pasca-revisi 2010, sinergi antarlembaga diperkuat.
Perkembangan Pasca-UU No. 15/2002
- Revisi UU No. 8 Tahun 2010:
UU ini direvisi untuk memenuhi rekomendasi FATF, termasuk perluasan predicate offense, pemberian kewenangan penyadapan kepada PPATK, dan peningkatan sanksi. - Kasus Penting:
UU ini menjadi dasar hukum kasus besar seperti skandal Bank Century (2008) dan pencucian uang proyek e-KTP (2017).
Signifikansi dalam Kerangka Hukum Indonesia
UU No. 15/2002 menjadi landasan transformasi sistem keuangan Indonesia yang lebih transparan. Meski telah direvisi, UU ini menandai komitmen Indonesia dalam memerangi kejahatan finansial yang berdampak sistemik, terutama di tengah maraknya praktik korupsi dan cybercrime saat ini.
Catatan: UU ini telah dicabut dan digantikan oleh UU No. 8 Tahun 2010, namun tetap relevan sebagai referensi historis perkembangan hukum pidana ekonomi di Indonesia.