Analisis Hukum Terkait UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
Konteks Historis
- Pemicu Pembentukan: UU ini lahir sebagai respons langsung atas Bom Bali 2002 yang menewaskan 202 orang, termasuk 88 warga Australia. Tragedi ini menjadi momentum Indonesia untuk memperkuat kerangka hukum anti-terorisme, terutama karena tekanan internasional dan kebutuhan untuk memulihkan kepercayaan global terhadap keamanan dalam negeri.
- Perppu No. 1 Tahun 2002: Sebelum diresmikan sebagai UU, aturan ini awalnya berbentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) yang diterbitkan Oktober 2002 oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Penggunaan Perppu mencerminkan urgensi situasi, meski menuai kritik karena dianggap "terburu-buru" dan berpotensi mengabaikan proses demokratis.
Poin Krusial dalam UU No. 15/2003
- Definisi Terorisme yang Luas: UU ini memperluas definisi terorisme mencakup tindakan yang menimbulkan teror atau korban massal, termasuk ancaman terhadap keamanan negara, kebebasan publik, atau merusak fasilitas vital.
- Pemberian Kewenangan Khusus:
- Detensi Praadil: Polisi dapat menahan tersangka tanpa tuduhan resmi hingga 7 hari (diperpanjang hingga 6 bulan dengan persetujuan pengadilan).
- Penyadapan: Diperbolehkan dengan izin ketua pengadilan negeri.
- Retroaktif: Pasal 46 mengizinkan penerapan UU ini untuk kasus terorisme yang terjadi sebelum UU disahkan, seperti kasus Bom Bali.
Kontroversi dan Kritik
- Potensi Pelanggaran HAM:
- Mekanisme detensi praadil dan penyadapan dinilai berisiko disalahgunakan untuk kriminalisasi lawan politik atau kelompok minoritas.
- Organisasi HAM seperti KontraS dan Imparsial mengecam pasal retroaktif yang bertentangan dengan prinsip nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali (tidak ada hukuman tanpa undang-undang yang mendahuluinya).
- Uji Materiil ke MK: Pada 2004, pasal retroaktif diuji oleh terpidana Bom Bali, Amrozi cs, namun MK memutuskan pasal tersebut konstitusional dengan alasan "keadaan darurat".
Dampak dan Perkembangan
- Eksekusi Terpidana Bom Bali: UU ini menjadi dasar hukum eksekusi mati Amrozi, Imam Samudra, dan Mukhlas pada 2008.
- Revisi UU Terorisme: UU No. 15/2003 kemudian direvisi melalui UU No. 5 Tahun 2018 yang memperkuat kewenangan Densus 88, mengatur rehabilitasi mantan teroris, dan memperluas definisi "tindakan teror" (termasuk perekrutan dan pendanaan).
Konteks Global
- UU ini sejalan dengan Resolusi DK PBB No. 1373 (2001) pasca-9/11 yang mewajibkan negara anggota memerangi terorisme. Indonesia juga meratifikasi Konvensi Internasional Pemberantasan Pendanaan Terorisme melalui UU No. 6 Tahun 2006.
Saran untuk Klien
- Kewaspadaan Hukum: Meski UU ini efektif membongkar jaringan teror, klien perlu memastikan bahwa penggunaan pasal-pasalnya tidak melanggar prosedur hukum atau hak asasi.
- Perhatikan Perubahan Terkini: Selalu merujuk pada UU No. 5/2018 yang mengatur aspek kontemporer seperti cyber-terrorism dan pendanaan gelap.
Catatan: UU No. 15/2003 tetap menjadi instrumen kritis dalam menjaga keamanan nasional, namun penerapannya harus diimbangi dengan pengawasan ketat untuk mencegah penyalahgunaan wewenang.