Analisis UU No. 5 Tahun 2018 tentang Perubahan UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
1. Konteks Historis
- Pemicu Awal: UU ini merupakan respons terhadap dinamika terorisme global dan lokal pasca serangan 9/11 di AS (2001) dan Bom Bali I (2002). UU sebelumnya (UU No. 15/2003) dinilai tidak lagi memadai karena perkembangan modus terorisme (misalnya: penggunaan teknologi, jaringan lintas negara, dan radikalisasi online).
- Peristiwa Krusial: Serangan teror di Jakarta (2016) dan Marawi, Filipina (2017) yang melibatkan warga Indonesia dalam kelompok ISIS mendorong revisi hukum untuk memperluas definisi dan ruang lingkup tindak pidana terorisme.
2. Perubahan Signifikan
- Kriminalisasi Aktivitas Baru:
- Pelatihan militer/paramiliter, pembuatan/penggunaan bahan peledak, serta pendanaan terorisme dianggap sebagai tindak pidana, bahkan jika dilakukan di luar negeri.
- Contoh Kasus: Pelaku yang bergabung dengan ISIS di Suriah dapat dijerat meski belum melakukan aksi di Indonesia.
- Sanksi Berlapis:
- Pidana mati atau penjara seumur hidup untuk pelaku utama, serta sanksi tambahan seperti pencabutan paspor (mencegah pelaku kabur/melakukan aksi di luar negeri).
- Perluasan Tanggung Jawab Korporasi: Jika perusahaan terbukti mendanai/memfasilitasi terorisme, pemimpinnya dapat dihukum.
- Peran TNI:
- UU ini mengakomodir peran TNI dalam operasi kontra-terorisme, meski dengan pengawasan ketat untuk mencegah penyalahgunaan wewenang.
3. Kontroversi & Tantangan
- Hak Asasi Manusia (HAM):
- Masa penahanan yang diperpanjang (hingga 21 hari untuk penyidikan) dikhawatirkan berpotensi melanggar hak tersangka.
- Kasus Rizal Bombang (2019): Aktivis yang ditahan tanpa bukti kuat memicu kritik dari lembaga HAM.
- Ambiguitas Definisi:
- Istilah "terorisme" yang terlalu luas berisiko menjerat aktivis politik atau kelompok minoritas yang dianggap "mengancam keamanan".
4. Konteks Internasional
- UU ini selaras dengan rekomendasi Financial Action Task Force (FATF) untuk mencegah pendanaan terorisme dan Resolusi DK PBB No. 2178 (2014) tentang foreign terrorist fighters.
- Indonesia aktif dalam kerja sama regional (ASEAN) dan global (Global Counterterrorism Forum) untuk penanganan terorisme.
5. Dampak Pasca-Pengesahan
- Peningkatan Penangkapan: BNPT mencatat peningkatan 40% kasus terorisme yang ditangani sejak 2018, termasuk jaringan Jamaah Ansharut Daulah (JAD).
- Deradikalisasi: Program rehabilitasi melalui BNPT dan lembaga keagamaan (seperti Pesantren Deradikalisasi) diperkuat, meski efektivitasnya masih diperdebatkan.
6. Catatan Kritis
- Pengawasan Institusional: Pembentukan Tim Pengawas oleh DPR (diatur dalam Peraturan DPR) perlu dioptimalkan untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas operasi kontra-terorisme.
- Perlindungan Korban: Meski UU menjamin kompensasi, implementasinya masih lambat (misal: korban Bom Surabaya 2018 belum seluruhnya menerima restitusi).
Kesimpulan: UU No. 5/2018 merefleksikan upaya Indonesia menyeimbangkan keamanan nasional dan perlindungan HAM. Namun, efektivitasnya sangat bergantung pada konsistensi penegakan hukum, koordinasi antarlembaga, dan pengawasan masyarakat sipil.