Analisis Hukum Terhadap UU No. 15 Tahun 2019 tentang Perubahan UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Berikut analisis mendalam disertai konteks historis dan informasi tambahan yang relevan:
1. Konteks Historis dan Latar Belakang
- UU No. 12 Tahun 2011 sebagai Dasar: UU ini lahir dalam kerangka reformasi hukum pasca-Reformasi 1998 untuk menciptakan hierarki dan mekanisme pembentukan peraturan yang sistematis. Namun, dalam praktiknya, muncul masalah seperti tumpang tindih regulasi, inkonsistensi, serta lemahnya koordinasi antarlembaga.
- Kebutuhan Pembaruan: UU No. 15/2019 muncul sebagai respons atas kritik bahwa UU No. 12/2011 belum mengakomodasi dinamika politik-legislatif, terutama terkait diskontinuitas pembahasan RUU antarperiode DPR dan absennya mekanisme evaluasi regulasi secara berkala.
2. Konteks Politik dan Hukum Saat Pengesahan
- Era Pemerintahan Jokowi: UU ini disahkan pada periode kedua pemerintahan Joko Widodo (2019), yang fokus pada percepatan pembangunan infrastruktur dan reformasi birokrasi. Pembaruan UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sejalan dengan agenda tersebut untuk memastikan regulasi yang mendukung investasi dan kepastian hukum.
- Harmonisasi dengan Omnibus Law: UU No. 15/2019 menjadi landasan prosedural bagi pengesahan UU Cipta Kerja (Omnibus Law) pada 2020, yang membutuhkan mekanisme cepat namun terstruktur dalam merevisi puluhan UU sekaligus.
3. Poin Perubahan Krusial dan Implikasinya
a. Mekanisme Keberlanjutan Pembahasan RUU
- Masalah Sebelumnya: RUU yang belum disahkan dalam satu periode DPR harus diajukan kembali dari nol, menyebabkan pemborosan waktu dan sumber daya.
- Solusi UU No. 15/2019: RUU yang telah dibahas tetapi belum disahkan dapat dilanjutkan pembahasannya di periode DPR berikutnya (Pasal 71A). Ini memperkuat stabilitas legislasi, terutama untuk RUU strategis seperti RUU Pertanahan atau RUU Perlindungan Data Pribadi.
- Catatan Kritis: Kebijakan ini bergantung pada komitmen fraksi-fraksi di DPR. Perubahan komposisi politik di periode baru dapat memengaruhi prioritas RUU.
b. Pemantauan dan Peninjauan (Monev) Peraturan
- Regulasi yang Overlapping: Indonesia memiliki sekitar 42.000 peraturan dari tingkat pusat hingga daerah, banyak yang saling bertentangan.
- Inovasi UU No. 15/2019:
- Pemantauan: Dilakukan untuk menilai implementasi peraturan (Pasal 96A).
- Peninjauan: Evaluasi substansi untuk mengatasi konflik atau ketidaksesuaian dengan peraturan di atasnya (Pasal 96B).
- Implikasi: Memperkuat peran Kementerian Hukum dan HAM, BPK, serta lembaga independen seperti Ombudsman dalam audit regulasi.
c. Penguatan Perencanaan Legislasi
- Prolegnas (Program Legislasi Nasional): Dipertegas sebagai instrumen wajib yang harus memuat prioritas RUU berbasis kebutuhan masyarakat (Pasal 17-18).
- Transparansi Publik: RUU wajib melibatkan partisipasi masyarakat melalui konsultasi publik dan Naskah Akademik yang komprehensif.
4. Tantangan Implementasi
- Koordinasi Antarlembaga: Mekanisme monev membutuhkan sinergi antara DPR, Pemerintah, MK, dan MA, yang selama ini kerap bekerja secara sektoral.
- Kapasitas Teknis: Daerah mungkin kesulitan melakukan peninjauan regulasi secara mandiri akibat terbatasnya SDM ahli hukum.
- Politik Hukum: Pembahasan RUU lintas periode berisiko terhambat oleh kepentingan politik praktis, terutama menjelang Pemilu 2024.
5. Rekomendasi untuk Praktisi Hukum
- Litigasi: Manfaatkan Pasal 96B UU No. 15/2019 untuk mengajukan judicial review ke MK jika menemukan peraturan yang bertentangan dengan UU.
- Legislative Drafting: Pastikan Naskah Akademik dan konsultasi publik menjadi bagian tak terpisahkan dalam penyusunan RUU klien.
- Compliance Audit: Lakukan pemetaan regulasi sektoral secara berkala untuk mengantisipasi hasil monev yang mungkin berdampak pada bisnis klien.
Penutup: UU No. 15/2019 adalah respons progresif atas kompleksitas sistem hukum Indonesia. Meski belum sempurna, perubahan ini menegaskan komitmen negara untuk menciptakan regulasi yang adaptif, partisipatif, dan berkelanjutan.