Analisis UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
Konteks Historis:
UU No. 12 Tahun 2011 dibentuk sebagai respons atas kebutuhan untuk menyempurnakan UU No. 10 Tahun 2004 yang dianggap belum memadai dalam mengakomodasi dinamika hukum nasional. Pasca reformasi 1998, Indonesia memasuki era demokratisasi yang menuntut transparansi, partisipasi publik, dan sistem hierarki peraturan yang jelas. UU No. 10/2004 dinilai kurang mampu menjawab kompleksitas pembentukan peraturan, terutama terkait tata kelola legislasi yang terintegrasi dan akuntabel.
Perubahan Signifikan:
-
Hierarki Peraturan Perundang-Undangan:
- Ketetapan MPR (Tap MPR) dimasukkan sebagai jenis peraturan di bawah UUD 1945. Ini merupakan pengakuan formal terhadap Tap MPR pasca-amandemen UUD 1945 (1999-2002) yang membatasi kewenangan MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Tap MPR tetap diakui sebagai produk hukum historis yang relevan, meskipun MPR tidak lagi memiliki kewenangan legislatif.
-
Perencanaan yang Lebih Komprehensif:
- Prolegnas (Program Legislasi Nasional) dan Prolegda (Program Legislasi Daerah) diperluas mencakup perencanaan Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), dan peraturan lain. Hal ini bertujuan meminimalisir tumpang tindih regulasi dan memastikan koordinasi antarlembaga.
-
Mekanisme Pencabutan Perppu:
- UU ini mengatur prosedur pembahasan RUU pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Ini menegaskan prinsip checks and balances, di mana DPR memiliki kewenangan untuk menolak atau mengesahkan Perppu yang diajukan Presiden.
-
Naskah Akademik sebagai Syarat Wajib:
- Setiap RUU atau Rancangan Perda wajib dilengkapi Naskah Akademik (analisis mendalam berbasis data, kajian teoritis, dan praktik terbaik). Ini dimaksudkan untuk memastikan setiap regulasi memiliki dasar ilmiah dan memitigasi risiko pembentukan peraturan yang bersifat reaktif atau tidak terukur.
-
Partisipasi Ahli dan Masyarakat:
- UU ini secara eksplisit mengatur keterlibatan perancang peraturan, peneliti, dan tenaga ahli dalam proses legislasi. Di sisi lain, partisipasi masyarakat dijamin melalui mekanisme konsultasi publik, meskipun implementasinya sering dikritik karena belum optimal.
Implikasi dan Tantangan:
- Penegasan Hierarki: Penempatan Tap MPR di bawah UUD 1945 mengakhiri debat hukum tentang status Tap MPR pasca-amandemen UUD 1945.
- Naskah Akademik: Meski ideal, dalam praktiknya, naskah akademik kerap disusun secara prosedural tanpa kedalaman analisis, terutama di tingkat daerah.
- Perppu: Mekanisme pencabutan Perppu melalui DPR memperkuat prinsip demokrasi, tetapi tetap berpotensi politis, tergantung relasi eksekutif-legislatif.
Kontroversi:
- Beberapa pihak mengkritik perluasan kewenangan Presiden dalam mengatur teknis pembentukan peraturan (melalui Perpres), yang dinilai dapat mengurangi peran DPR.
- Hierarki peraturan dalam UU ini juga dianggap belum sepenuhnya mengakomodasi peraturan daerah (Perda) yang kerap bertentangan dengan peraturan pusat.
Relevansi saat Ini:
UU No. 12/2011 menjadi dasar bagi pembentukan UU No. 13/2022 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 12/2011, yang memperkuat asinkronisasi peraturan dan penguatan partisipasi publik. Namun, tantangan utama tetap pada implementasi, seperti kapasitas kelembagaan, koordinasi antar-pemangku kepentingan, dan transparansi proses legislasi.
Catatan Penting:
- Lampiran I tentang teknik penyusunan Naskah Akademik menjadi acuan baku bagi legislator, meski perlu evaluasi berkala untuk menyesuaikan dengan perkembangan metodologi penelitian hukum.
- UU ini menjadi fondasi bagi penguatan sistem hukum nasional, meski masih diperlukan reformasi struktural untuk memastikan konsistensi dan kepatuhan terhadap prinsip negara hukum.
Dengan demikian, UU No. 12/2011 tidak hanya sekadar revisi teknis, tetapi juga upaya transformatif untuk menciptakan kerangka hukum yang responsif terhadap tuntutan demokrasi dan rule of law.