Analisis UU No. 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2004 Menjadi Undang-Undang
Konteks Historis
- Latar Belakang Darurat: Perppu No. 1 Tahun 2004 (yang diubah menjadi UU No. 19/2004) diterbitkan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri pada 11 Maret 2004. Perppu ini muncul sebagai respons atas krisis tata kelola kehutanan yang parah, terutama maraknya illegal logging dan deforestasi yang mengancam stok hutan Indonesia. Saat itu, Indonesia disebut sebagai salah satu negara dengan laju kerusakan hutan tertinggi di dunia.
- Desakan Global-Lokal: Tekanan internasional (misalnya dari Bank Dunia dan lembaga lingkungan) dan domestik (aktivis lingkungan, masyarakat adat) mendorong pemerintah bertindak cepat. UU No. 41/1999 dinilai tidak cukup efektif menekan praktik ilegal, sehingga perlu revisi mendesak.
Materi Penting dalam Perppu No. 1/2004
Perppu ini mengubah beberapa pasal krusial dalam UU Kehutanan No. 41/1999, antara lain:
- Penguatan Sanksi Pidana: Meningkatkan hukuman bagi pelaku illegal logging, termasuk denda hingga 10 miliar rupiah dan pidana penjara (Pasal 78).
- Kewenangan Pemerintah: Memperjelas peran negara dalam pengawasan dan pencabutan izin usaha kehutanan bagi pelanggar (Pasal 38A).
- Perlindungan Hutan Adat: Meski belum ideal, Perppu ini menjadi dasar awal pengakuan hak masyarakat adat dalam pengelolaan hutan (Pasal 5).
Proses Pengesahan Menjadi UU
- Politik Hukum Darurat: Penggunaan Perppu (bukan revisi UU biasa) menunjukkan urgensi krisis ekologi dan ekonomi saat itu. Namun, menurut UUD 1945, Perppu harus disahkan DPR dalam masa sidang berikutnya.
- Persetujuan DPR: Pada Agustus 2004, DPR RI mengesahkan Perppu ini menjadi UU No. 19/2004. Hal ini mencerminkan konsensus politik bahwa revisi UU Kehutanan tidak bisa ditunda meskipun terjadi dalam tahun politik (pemilu 2004).
Kritik dan Tantangan Implementasi
- Tumpang Tindih Kebijakan: UU ini tidak sepenuhnya menyelesaikan konflik tata ruang antara kawasan hutan, pertambangan, dan perkebunan.
- Lemahnya Penegakan Hukum: Meski sanksi diperberat, praktik illegal logging tetap marak karena korupsi di tingkat aparat dan birokrasi.
- Masyarakat Adat: Pengakuan hak masyarakat adat masih bersifat parsial dan seringkali dikalahkan oleh kepentingan investasi skala besar.
Relevansi dengan Regulasi Terkini
UU No. 19/2004 menjadi fondasi bagi UU No. 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan serta UU Cipta Kerja (2020) yang mengatur insentif ekonomi berkelanjutan di sektor kehutanan.
Catatan Penting
- Perppu sebagai Instrumen Kontroversial: Penggunaan Perppu dalam kasus ini memicu debat tentang kewenangan eksekutif vs legislatif, terutama dalam situasi yang dianggap "darurat".
- Warisan Lingkungan: UU ini menjadi bukti upaya Indonesia menyeimbangkan kepentingan ekonomi dan ekologi, meski hasilnya masih diperdebatkan hingga kini.
Sebagai ahli hukum, penting untuk memahami bahwa UU No. 19/2004 adalah produk kompromi politik-ekologi di tengah tekanan global dan kompleksitas tata kelola hutan Indonesia. Efektivitasnya sangat bergantung pada integritas penegak hukum dan koordinasi antarlembaga.