Analisis Hukum: UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika
Konteks Historis
UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika lahir dalam situasi meningkatnya kekhawatiran global dan domestik terhadap penyalahgunaan narkotika. Sebelumnya, Indonesia mengacu pada UU No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika yang dinilai sudah tidak memadai untuk mengatasi kompleksitas peredaran gelap narkotika modern, terutama setelah maraknya sindikat internasional. Selain itu, Indonesia telah meratifikasi Konvensi PBB 1988 tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika (United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances) melalui Keppres No. 81 Tahun 1993. Ratifikasi ini mewajibkan Indonesia memperbarui kerangka hukumnya untuk selaras dengan standar internasional, termasuk penguatan penegakan hukum dan kerja sama transnasional.
Poin Kunci UU No. 22/1997
-
Klasifikasi Narkotika
UU ini membagi narkotika ke dalam 3 golongan berdasarkan potensi adiktif dan manfaat medis:- Golongan I: Narkotika dengan adiktivitas tinggi dan tidak digunakan untuk pengobatan (contoh: heroin, ganja saat itu).
- Golongan II: Narkotika dengan manfaat medis terbatas tetapi berisiko tinggi (contoh: morfin, petidin).
- Golongan III: Narkotika dengan risiko ketergantungan rendah dan digunakan untuk pengobatan (contoh: kodein).
-
Sanksi Pidana yang Lebih Berat
UU ini memperkenalkan hukuman penjara seumur hidup hingga hukuman mati untuk produsen, pengedar, atau pemilik narkotika dalam jumlah besar. Hal ini mencerminkan pendekatan zero tolerance terhadap kejahatan narkotika. -
Rehabilitasi vs. Hukuman
Meski fokus pada pemberantasan, UU ini belum secara tegas mengatur rehabilitasi bagi pecandu. Pendekatan dominan masih bersifat represif, di mana pengguna narkotika sering dijerat pidana tanpa alternatif pemulihan.
Kritik dan Perkembangan Hukum
- Overkriminalisasi: UU ini dianggap terlalu keras terhadap pengguna kecil, menyebabkan kepadatan penjara dan stigma sosial.
- Tidak Ada Pembeda antara Pengedar dan Pengguna: Kritik ini mendorong reformasi hukum di kemudian hari.
- Penggantian oleh UU No. 35 Tahun 2009: UU No. 22/1997 dicabut dan diganti dengan UU No. 35/2009 yang lebih progresif, mengakomodasi rehabilitasi, membedakan sanksi untuk pengedar dan pengguna, serta memperluas definisi narkotika sintetis.
Dampak Signifikan
- Peningkatan Eksekusi Hukuman Mati: Pada era 2000-an, Indonesia menjadi salah satu negara dengan eksekusi mati tertinggi untuk kasus narkotika, terutama terhadap warga asing.
- Landasan Kelembagaan: UU ini menjadi dasar pembentukan Badan Narkotika Nasional (BNN) pada 2002 untuk mengoordinasikan pemberantasan narkotika.
Catatan Penting
- Status Tidak Berlaku: UU No. 22/1997 telah dicabut sepenuhnya oleh UU No. 35/2009.
- Relevansi Internasional: Kebijakan dalam UU ini mencerminkan tekanan global untuk memerangi narkotika, meski menuai kontroversi dalam praktik HAM.
Rekomendasi:
Klien yang menghadapi kasus hukum terkait UU ini harus merujuk pada UU No. 35/2009 sebagai hukum yang berlaku, dengan mempertimbangkan aspek rehabilitasi dan pembelaan berbasis bukti medis.