Analisis Mendalam terhadap UU No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)
Konteks Historis
-
Krisis Moneter 1997-1998:
- UU ini lahir sebagai respons terhadap dampak krisis finansial Asia 1997-1998 yang melumpuhkan sistem perbankan Indonesia. Saat itu, 16 bank dilikuidasi, memicu kepanikan nasabah ("bank run") dan kerugian triliunan rupiah.
- Pemerintah terpaksa mengeluarkan BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) senilai Rp600+ triliun untuk menyelamatkan perbankan, tetapi banyak diselewengkan. LPS dibentuk untuk menghindari pengulangan skandal serupa.
-
Reformasi Sistem Keuangan Pasca-Krisis:
- LPS merupakan bagian dari paket reformasi sektor keuangan yang diamanatkan IMF dan Bank Dunia sebagai syarat restrukturisasi ekonomi Indonesia.
- Sebelum UU ini, Indonesia tidak memiliki skema penjaminan simpanan formal. Penjaminan bersifat ad hoc oleh pemerintah, seperti dalam kasus Bank Duta (1990) dan Bank Summa (1992).
Aspek Krusial yang Sering Terlewatkan
-
LPS Bukan Hanya untuk "Menjamin" tapi Juga "Mengawasi":
- LPS memiliki kewenangan mengawasi kesehatan bank (Pasal 8) dan berhak meminta informasi keuangan bank peserta. Ini berbeda dengan model deposit insurance di beberapa negara yang hanya bersifat pasif.
- LPS juga berwenang menetapkan premi penjaminan (Pasal 17) berdasarkan risiko bank, mendorong praktik perbankan yang sehat (risk-based premium).
-
Mekanisme Penyelesaian Bank Gagal:
- LPS tidak sekadar membayar klaim nasabah. Jika bank kolaps, LPS wajib melakukan resolusi perbankan (Pasal 11) melalui merger, akuisisi, atau likuidasi, dengan prioritas menjaga stabilitas sistem keuangan.
-
Batas Penjaminan yang Dinamis:
- UU ini tidak mencantumkan nominal pasti penjaminan. Batas maksimal diatur melalui Peraturan LPS dan dapat disesuaikan (misalnya, naik dari Rp2 miliar menjadi Rp5 miliar per nasabah per bank pada 2020 untuk antisipasi krisis COVID-19).
-
Independensi LPS:
- LPS dirancang sebagai lembaga independen (Pasal 4) yang tidak tunduk pada intervensi politik. Keputusan LPS bersifat final dan mengikat (Pasal 38), meski tetap diawasi DPR.
Tantangan dan Kontroversi
-
Konflik Kepentingan dengan OJK dan BI:
- Kewenangan LPS tumpang tindih dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI). Misalnya, LPS berhak merekomendasikan pencabutan izin bank ke BI (Pasal 35), tetapi implementasinya kerap memicu perdebatan koordinasi.
-
Dana LPS yang Terbatas:
- Dana LPS bersumber dari premi bank, investasi, dan dana pemerintah (Pasal 16). Namun, saat krisis besar terjadi (seperti pandemi COVID-19), kapasitas LPS dipertanyakan. Pada 2023, dana LPS hanya sekitar Rp150 triliun—jauh di bawah total simpanan nasabah (Rp10.000+ triliun).
-
Ketidaktahuan Masyarakat:
- Surveji LPS (2022) menunjukkan 65% masyarakat tidak paham batas penjaminan. Banyak nasabah mengira LPS menjamin semua simpanan, padahal hanya hingga Rp5 miliar.
Pengaruh Internasional
- LPS mengadopsi prinsip Core Principles for Effective Deposit Insurance Systems (IADI-BIS, 2014), namun disesuaikan dengan kondisi lokal. Contohnya, LPS menggabungkan fungsi paybox (pembayar klaim) dan risk minimizer (pengawas risiko), mirip dengan FDIC di AS.
Relevansi saat Ini
- UU ini menjadi fondasi krusial dalam menjaga kepercayaan publik selama krisis, seperti saat kasus Bank BPD Bali (2021) dan Bank KB Bukopin (2023). Tanpa LPS, potensi bank run dan krisis sistemik akan lebih tinggi.
Rekomendasi: Masyarakat perlu aktif memastikan bank tempatnya menabung adalah peserta LPS (cek di https://www.lps.go.id) dan memahami batas penjaminan. Sementara itu, LPS harus meningkatkan literasi keuangan dan transparansi kebijakan.