Analisis Hukum: UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Berikut konteks historis dan informasi tambahan yang relevan terkait UU ini:
1. Latar Belakang Politik dan Sosial
- UU ini lahir di era awal Orde Baru (1966–1998), di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Pemerintah saat itu ingin membangun citra sebagai rezim yang "bersih" dengan memberantas korupsi warisan Orde Lama (Soekarno).
- UU No. 24 Prp. 1960 (yang digantikan UU ini) dinilai tidak efektif karena:
- Cakupan definisi korupsi terlalu sempit.
- Sanksi yang lemah dan prosedur penindakan yang rumit.
- Konteks politik Orde Lama yang tidak stabil menghambat penegakan hukum.
2. Inovasi dalam UU No. 3/1971
- Perluasan Definisi Korupsi: Memuat 7 bentuk tindak pidana korupsi (Pasal 1), termasuk penyuapan, penggelapan, dan gratifikasi.
- Sanksi Lebih Berat: Hukuman maksimal penjara 20 tahun atau hukuman mati untuk kasus berat (Pasal 2).
- Pembuktian Terbalik (reverse burden of proof): Tertuang dalam Pasal 37, terdakwa wajib membuktikan harta kekayaannya tidak berasal dari korupsi. Ini menjadi terobosan hukum progresif saat itu.
3. Tantangan Implementasi
- Politik Hukum yang Ambigu: Meski progresif, UU ini tidak diikuti kemauan politik kuat untuk memberantas korupsi di tubuh birokrasi dan militer Orde Baru. Korupsi justru tumbuh sistemik melalui praktik KKN (Kolusi, Korupsi, Nepotisme).
- Lembaga Ad Hoc: Penyidikan dan penuntutan korupsi masih dilakukan oleh kepolisian/kejaksaan yang rentan intervensi politik. Tidak ada lembaga khusus anti-korupsi seperti KPK saat ini.
4. Pengaruh Hukum Internasional
- UU ini dipengaruhi tren global pasca-Perang Dunia II, seperti Konvensi PBB Anti-Korupsi (belum ada saat itu), tetapi Indonesia belum meratifikasi instrumen internasional terkait hingga Reformasi.
5. Dasar Penggantian ke UU No. 31/1999
- UU No. 3/1971 dicabut oleh UU No. 31/1999 (diperbarui UU No. 20/2001) karena:
- Tidak sesuai dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas pasca-Reformasi 1998.
- Perlunya harmonisasi dengan standar internasional dan pembentukan KPK (2002).
6. Kontribusi Historis
- UU ini menjadi landasan konseptual bagi kebijakan anti-korupsi modern di Indonesia, meski implementasinya terhambat budaya koruptif Orde Baru.
- Pembuktian terbalik dalam UU ini diadopsi kembali dalam UU No. 31/1999 dan menjadi alat strategis KPK.
Catatan Kritis
- Paradoks Orde Baru: UU ini justru digunakan untuk mengkriminalisasi lawan politik, sementara korupsi di kalangan elit tidak tersentuh.
- Relevansi saat Ini: Meski sudah dicabut, prinsip-prinsip dalam UU No. 3/1971 (seperti perluasan definisi korupsi) tetap menjadi acuan dalam sistem hukum pidana Indonesia.
Kesimpulan: UU No. 3/1971 mencerminkan upaya awal Indonesia membangun sistem hukum anti-korupsi, tetapi efektivitasnya dibatasi oleh rezim yang otoriter. Pembaruan UU ini pasca-Reformasi menunjukkan komitmen yang lebih serius, meski tantangan korupsi tetap kompleks hingga kini.