Analisis Terhadap UU No. 3 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa
Konteks Historis dan Politik
-
Latar Belakang UU Desa 2014
UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa lahir sebagai respons terhadap tuntutan reformasi desentralisasi dan penguatan otonomi desa. Tujuannya adalah meningkatkan kesejahteraan desa melalui pengakuan hak asal-usul, alokasi dana desa (ADD), dan penguatan kewenangan lokal. Namun, implementasinya menghadapi tantangan seperti kapasitas SDM desa yang terbatas dan tumpang tindih regulasi. -
Amandemen Pertama (UU No. 6 Tahun 2023)
Perubahan pertama melalui UU Cipta Kerja (Omnibus Law) pada 2023 bertujuan menyelaraskan UU Desa dengan agenda investasi dan percepatan pembangunan. Namun, perubahan ini menuai kritik karena dinilai mengurangi partisipasi masyarakat desa dalam pengelolaan sumber daya alam. -
Amandemen Kedua (UU No. 3 Tahun 2024)
Perubahan kedua ini muncul untuk menjawab tiga isu utama:- Konflik Sumber Daya Alam: Desa di kawasan konservasi sering terlibat konflik dengan kebijakan pusat.
- Stabilitas Kepemimpinan Desa: Masa jabatan Kepala Desa sebelumnya (6 tahun, maksimal 3 periode) dianggap terlalu pendek untuk program jangka panjang.
- Kebutuhan Pembaruan Hukum: Dinamika sosial-ekologis, seperti tekanan deforestasi dan tuntutan ekonomi hijau, mendorong revisi.
Perubahan Krusial dan Implikasinya
-
Masa Jabatan Kepala Desa
- Perubahan: Masa jabatan diperpanjang dari 6 tahun menjadi 8 tahun per periode, dengan batasan maksimal 2 periode (baik berturut-turut atau tidak).
- Implikasi:
- Positif: Memberi waktu lebih panjang untuk menyusun program strategis (misal: infrastruktur, konservasi).
- Negatif: Risiko penyalahgunaan kekuasaan dan oligarki lokal jika pengawasan lemah.
- Catatan: Perubahan ini mengacu pada Pasal 18B UUD 1945 tentang pengakuan kesatuan masyarakat hukum adat, tetapi perlu diimbangi dengan mekanisme recall yang transparan.
-
Dana Konservasi/Rehabilitasi untuk Desa di Kawasan Khusus
- Lingkup: Desa di suaka alam, kawasan pelestarian alam, hutan produksi, dan kebun produksi berhak mendapat dana konservasi/rehabilitasi.
- Implikasi:
- Positif: Mengkompensasi desa yang terdampak pembatasan eksploitasi SDA (misal: larang bakar lahan di hutan produksi).
- Tantangan: Mekanisme alokasi dana harus jelas untuk mencegah korupsi atau ketimpangan antardesa.
- Keterkaitan: Kebijakan ini sejalan dengan komitmen Indonesia dalam Perjanjian Paris dan pengelolaan hutan berkelanjutan (UNDROP 2018).
Pertimbangan Strategis
-
Potensi Konflik dengan Regulasi Sektoral
- UU ini perlu disinkronkan dengan UU No. 41/1999 tentang Kehutanan dan UU No. 5/1990 tentang Konservasi SDA. Misalnya, desa di hutan produksi harus memastikan alokasi dana rehabilitasi tidak bertabrakan dengan izin usaha kehutanan (IUPHHK).
-
Peran Pemerintah Daerah
- Pemda wajib memastikan dana konservasi tidak digunakan untuk kepentingan politik praktis, terutama menjelang Pilkada.
-
Partisipasi Masyarakat
- Perlu penguatan fungsi Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan lembaga adat dalam mengawasi penggunaan dana dan kinerja Kepala Desa.
Rekomendasi untuk Stakeholder
-
Pemerintah Pusat:
- Segera terbitkan Peraturan Pelaksana (PP/Perpres) tentang teknis alokasi dana konservasi dan kriteria kawasan prioritas.
- Lakukan sosialisasi masif ke daerah terpencil untuk menghindari misinterpretasi.
-
Organisasi Masyarakat Sipil:
- Awasi implementasi perubahan masa jabatan Kepala Desa dan advokasi mekanisme pengaduan jika terjadi penyalahgunaan.
-
Akademisi/Praktisi Hukum:
- Kaji ulang kepatuhan UU ini terhadap prinsip local wisdom dan kesetaraan hak antar-desa.
Penutup
UU No. 3 Tahun 2024 mencerminkan upaya menyeimbangkan otonomi desa dengan tanggung jawab lingkungan. Namun, efektivitasnya bergantung pada komitmen seluruh pihak dalam menjalankan prinsip good governance dan keadilan ekologis.