Analisis Mendalam UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
Konteks Historis dan Politik
-
Era Reformasi dan Desentralisasi Pasca-Suharto
- UU ini lahir dalam rangka memperkuat kerangka otonomi daerah pasca-Reformasi 1998, menggantikan UU No. 25/1999 yang dinilai belum mampu mengakomodasi tuntutan dinamika desentralisasi.
- Amendemen UUD 1945 (1999-2002), khususnya Pasal 18 dan 18A, menjadi landasan konstitusional untuk mempertegas hubungan keuangan pusat-daerah berbasis prinsip keadilan dan keselarasan.
-
Respons terhadap Krisis Ekonomi 1997/1998
- Krisis mengungkap kerentanan sistem sentralistik, mendorong redistribusi kewenangan fiskal untuk mengurangi ketimpangan antardaerah dan mencegah disintegrasi.
Inovasi dan Penyempurnaan Krusial
-
Dana Bagi Hasil (DBH) yang Diperluas
- Pertambangan Panas Bumi: Sektor ini dimasukkan sebagai sumber DBH seiring potensi geotermal Indonesia yang besar, sekaligus mendorong partisipasi daerah dalam pengelolaan energi terbarukan.
- PPh Pasal 21, 25/29: Penambahan ini merefleksikan upaya meningkatkan kontribusi pajak orang pribadi sebagai sumber pendapatan daerah, sejalan dengan pertumbuhan kelas menengah.
- Dana Reboisasi: Pengalihan dari Dana Alokasi Khusus (DAK) ke DBH bertujuan meningkatkan transparansi dan akuntabilitas penggunaan dana rehabilitasi lingkungan.
-
Dana Alokasi Umum (DAU) dan Khusus (DAK)
- Formula DAU disempurnakan dengan mempertimbangkan fiscal gap (kesenjangan fiskal) dan kebutuhan riil daerah, mengurangi ketergantungan pada alokasi politis.
- DAK difokuskan pada program prioritas nasional yang berdampak langsung pada masyarakat, seperti infrastruktur dasar dan pelayanan publik.
-
Mekanisme Darurat dan Hibah
- Dana Darurat: Diatur untuk mengantisipasi bencana atau krisis mendesak, mencerminkan pembelajaran dari kerentanan daerah terhadap guncangan eksternal (misal: krisis ekonomi, bencana alam).
- Hibah: Memperjelas tata cara penerimaan hibah dari dalam/luar negeri, termasuk syarat transparansi untuk mencegah praktik korupsi.
-
Penguatan Akuntabilitas dan Pengawasan
- Pinjaman Daerah/Obligasi: Mekanisme diperketat untuk mencegah over-leveraging (contoh: kasus default pemda era 2000-an). Syarat seperti persetujuan DPRD dan batasan maksimal utak menjadi safeguard.
- Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD): Diperkenalkan untuk standardisasi pelaporan keuangan, memudahkan audit oleh BPK dan publik.
Implikasi dan Tantangan Implementasi
-
Dampak Positif
- Meningkatkan kapasitas fiskal daerah melalui porsi DBH yang lebih adil, terutama untuk daerah kaya SDA.
- Memperkuat desain anggaran berbasis kinerja melalui DAK yang terarah.
-
Kritik dan Kelemahan
- DBH Panas Bumi: Masih timbul sengketa antara pusat-daerah soal pembagian persentase, terutama di wilayah dengan cadangan geotermal besar (misal: Jawa Barat, Sulawesi Utara).
- DAU yang Tidak Responsif: Formula DAU kerap dianggap tidak akurat menilai kebutuhan riil daerah terpencil, memicu ketimpangan baru.
- Utang Daerah: Meski diatur, pemda masih rentan terjebak utang melalui skema kreatif (misal: KPBU) yang tidak diatur jelas dalam UU ini.
Perkembangan Hukum Terkini
- UU No. 33/2004 dicabut dan digantikan oleh UU No. 1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, yang menyempurnakan skema transfer fiskal, mengintegrasikan kebijakan SDGs, serta memperkuat insentif daerah berbasis kinerja.
Rekomendasi untuk Pemangku Kebijakan
- Evaluasi berkala formula DBH/DAU/DAK untuk memastikan keadilan antardaerah.
- Penguatan kapasitas SIKD berbasis teknologi guna mencegah manipulasi data keuangan.
- Sosialisasi mekanisme pinjaman daerah untuk menghindari praktik utang ilegal.
Catatan: UU No. 33/2004 merupakan tonggak penting dalam sejarah desentralisasi fiskal Indonesia, meski perlu disesuaikan dengan tantangan kontemporer seperti perubahan iklim dan digitalisasi ekonomi.