Analisis Hukum Terkait UU No. 6 Tahun 2009
Berikut konteks historis dan informasi tambahan yang perlu diketahui tentang UU ini:
1. Latar Krisis Global 2008
UU ini lahir sebagai respons terhadap krisis keuangan global 2008 yang berdampak signifikan pada stabilitas sistem keuangan Indonesia. Krisis menyebabkan arus dana keluar (capital outflow) besar-besaran, likuiditas perbankan menipis, dan risiko krisis kepercayaan masyarakat terhadap perbankan. Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas moneter membutuhkan instrumen hukum yang lebih fleksibel untuk memberikan dukungan likuiditas darurat kepada bank yang mengalami kesulitan pendanaan jangka pendek.
2. Perppu No. 2 Tahun 2008: Langkah Darurat Presiden
- Dasar Penerbitan Perppu: Presiden mengeluarkan Perppu No. 2/2008 sebagai langkah darurat untuk merevisi UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia. Perubahan ini diperlukan karena ketentuan agunan dalam pemberian kredit/pembiayaan BI kepada bank dinilai terlalu ketat dan tidak sesuai dengan kondisi krisis.
- Fleksibilitas Agunan: Perppu memperluas kriteria agunan yang dapat dijaminkan bank untuk memperoleh likuiditas dari BI, termasuk surat berharga berbasis syariah dan aset lain yang sebelumnya tidak diakui. Hal ini memungkinkan bank kesulitan likuiditas tetap bisa mengakses dana darurat tanpa terkendala persyaratan agunan yang rigid.
3. Konversi Perppu ke UU: Proses Ratifikasi
- Kedudukan Perppu: Menurut UUD 1945, Perppu bersifat sementara dan harus disahkan DPR dalam sidang berikutnya. Jika tidak disetujui, Perppu dicabut.
- Pengesahan UU No. 6/2009: DPR menyetujui Perppu No. 2/2008 menjadi UU melalui UU No. 6/2009 pada 13 Januari 2009. Ini menunjukkan konsensus politik bahwa kebijakan darurat tersebut dinilai krusial untuk menjaga stabilitas perbankan pascakrisis.
4. Dampak terhadap Otoritas BI
- Peran sebagai Lender of Last Resort (LoLR): UU ini memperkuat peran BI dalam mencegah krisis sistemik dengan memberikan kewenangan lebih luas untuk menyalurkan dana darurat ke bank yang likuiditasnya tertekan.
- Sinergi dengan OJK: Meski OJK (otoritas jasa keuangan) belum berdiri saat itu, UU ini menjadi dasar koordinasi kebijakan antara BI dan pemerintah dalam menangani krisis keuangan.
5. Kritik dan Tantangan
- Risiko Moral Hazard: Kebijakan relaksasi agunan menuai kritik karena berpotensi memicu perilaku ceroboh bank dalam pengelolaan risiko, mengandalkan bailout BI.
- Transparansi Kebijakan: Perlunya mekanisme pengawasan ketat untuk memastikan penggunaan fasilitas likuiditas BI tepat sasaran dan tidak disalahgunakan.
6. Relevansi saat Ini
UU No. 6/2009 menjadi preseden penting dalam kerangka hukum penanganan krisis keuangan di Indonesia. Prinsip fleksibilitas kebijakan moneter darurat dalam UU ini diadopsi dalam kebijakan BI selama pandemi COVID-19 (2020-2021), seperti relaksasi agunan dan pembelian surat utang pemerintah secara langsung.
Kesimpulan: UU No. 6/2009 mencerminkan respons cepat legislatif dan eksekutif dalam menstabilkan sistem keuangan di tengah krisis, dengan memprioritaskan kepentingan publik dan kepercayaan terhadap perbankan nasional.